Sabtu, 30-06-2007 21:15:06 oleh: Yermias Ignatius Degei
Kanal: Opini
Prolog
Pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persolan yang melingkupinya dan mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya, yakni kemanusiaan. Paulo Freire melalui Yunus, (2002) mengatakan, pendidikan adalah salah satu upaya pengembalian fungsi manusia agar terhindar dari berbagai keterbelakangan, maka pendidikan harus menjadikan alat pembebasan. Maka itu, kualitas pendidikan dapat dilihat dari sejauh mana suatu bangsa membangun manusianya untuk membebaskan dirinya dan lingkunganya.
Dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai keterbelakangan itu bangsa kita terus dan selalu mencari format pendidikan yang sesuai untuk membebaskan manusia Indonesia dari berbagai keterbelakangan. Pencarian format pendidikan itu terlihat dengan perubahan kurikulum setiap selang sepuluh tahun. Namun kurikulum yang selalu dimunculkan itu justru menambah persoalan pendidikan kita, karena kurang tersosialisasi dan para pelaku pendidikan dilapangan enggan menerjemahkan serta merealisasaikan konsep-konsep tersebut dalam pembelajaran di sekolah. Dalam hal ini di tanah Papua , misalnya selama ini konsep-konsep kurikulum kurang tersosialisasikan dengan baik kepada praktisi pendidikan (guru). Selain itu guru sebagai praktisi di lapangan tidak pernah dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengetahui konsep-konsep tersebut. Kalaupun dilibatkan melalui kegiatan seminar, pelatihan atau lokalarya sekalipun hanya berlalu sebagai kewajiban. Bukan suatu kebutuhan.
Bagaimana mungkin sebuah kurikulum berhasil, kalau roh kurikulum itu tidak menjiwai seorang guru. Misalnya, ketika secara konseptual kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan dengan harapan meningkatkan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional. Dalam penerapan CBSA itu guru menjadi kambing hitam kegagalan kurikulum tersebut. Sementara itu, banyak pihak menilai kurang adanya sosialisasi mengakibatkan penerjemahan yang kurang baik di lapangan oleh praktisi dilapangan (guru). Persoalan pendidikan di Papua tidak hanya itu, kebanyakan guru (tamatan tahun 70-an) sampai saat ini sulit melepaskan diri dari model pembelajaran yang mereka terima dari guru mereka di bangku Sekolah Guru Bawahan (SGB) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Penerapan kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Papua, dikhawatirkan akan mengalami nasif yang sama dengan kurikulum CBSA dan kurikulum lainya. Anita Lie (2005) mengatakan, penggunaan berbagai jargon dalam kurikulum nasional misalnya, siswa aktif, kompetensi, kewarganegaraan dan sebagainya tidak dilandasi dengan paradigma yang mantap dan relevan dengan konteks budaya dan lingkungan setempat. Selain itu, selama kurikulum berlum tersosialisasi atau diterjemahkan dengan baik oleh guru dalam pembelajaran, maka kualitas pendidikan di suatu daerah tetap akan terpuruk.
Keterpurukan kualitas dan kuantitas pendidikan di Papua yang tak pernah terselesaikan ini tidak terlepas dari mutu tenaga pengajar yang ada. Selain itu, persoalan geografis, fasilitas, kesejahteraan guru, kesesuaikan kurikulum dengan budaya dan lingkungan hidup, penanganan yang kurang becus dari pemerintah dan keseriusan pemerintah daerah dan banyak persoalan lainya menjadi masalah klasik yang tak pernah terselesaikan.
Faktor yang satu mempengaruhi factor yang lain. Misalnya, apabila fasilitasnya memadai, apakah juga akan didukung oleh profesionalisme guru. Kalau profesionalisme guru memadai, bagaimana dengan kesejahteraan gurunya. Karena tentu saja, fasilitas dan seprofesional apapun seorang, kalau kesejahteraan belum memadai tentu saja dia akan mencari penghasilan tambahan. Dia akan pergi meninggalkan tugas utamanya, sehingga di sekolah hanya catat dan ceramah. Dalam keadaan seperti ini tahap perencanaan dan evaluasi tidak pernah terjadi di sekolah sehingga apa yang harus diajarkan dan hasilnya bagaimana tidak pernah terlihat. Itulah mata rantai keterpurukan pendidikan di Papua.
Secara khusus kompetensi (profesionalisme) guru di tanah Papua sungguh juga menjadi suatu factor utama ketertinggalan pendidikan. Selama ini, pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan Papua masih berpikir fasilitas dan tenaga pendidik. Perhatian dan peningkatan kompetensi tenaga pengajar masih belum begitu terlihat. Sebenarnya, tenaga pengajar harus memahami bagaimana merencanakan pembelajaran (model, metode, dan media), proses pembelajaran dan sampai pada tahap evaluasi adalah hal yang perlu dilakukan seorang guru (pengajar). Karena memang berbicara mengenai peningkatan kualitas pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari kompetensi tenaga pengajar. Penanganan pendidikan yang bagus dari pemerintah, fasilitas yang memadai, kesejahteraan guru cukup, serta kurikulum berbasis budaya dan lingkungan Papua, nampaknya belum cukup menjawab persoalan pendidikan di Papua. Sebenarnya, persoalan utama keterpurukan pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari profesionalisme tenaga pengajar.
Untuk itu, peningkatan kompetensi tenaga pengajar merupakan satu aspek penting yang harus juga mendapat bagian dalam penanganan pendidikan di tanah Papua. Nampaknya memang peningkatan profesionalisme tenaga pengajar bukan sekedar isu tetapi benar-benar suatu keharusan yang harus dijawab. Persoalannya adalah oleh siapa, melalui apa dan bagaimana cara atau mekanisme meningkatkan profesionalisme tenaga pengajar? Apakah pemerintah atau lembaga independen atau justru kedua-duanya. Dan kalau itu sudah jelas, realitas sosial budaya dan lingkungannya bagaimana dan kompetensi seperti apa yang harus ditingkatkan?
Kompetensi Tenaga Pengajar Ideal
Berbicara tentang kompetensi guru adalah berbicara tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki seorang tenaga pengajar serta penerapannya di dalam pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan. Standar kompetensi guru meliputi tiga komponen, yakni (1) kompetensi pengelolaan pembelajaran dan wawasan kependidikan; (2) kompetensi akademik sesuai materi pembelajaran; dan (3) pengembangan profesi, (Depdiknas, 2004).
Kompetensi pertama menyangkut: penyusunan rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai prestasi pembelajar, melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian pembelajar. Kompetensi kedua menyangkut menguasaan keilmuan dan keterampilan sesuai materi pembelajaran (bidang ilmu). Sedangkan yang ketiga menyangkut pengembangan profesi tenaga pengajar dengan terus belajar dan menulis baik karya ilmiah maupun karya popular untuk seminar maupun publikasi di media massa. Karena seorang pengajar diharapkan mengembangkan profesionalismenya dengan membaca dan menulis (pengembangan profesi).
Secara rinci kompetensi guru yang diharapkan oleh KBK menuju profesionalisme tenaga pengajar, (Depdiknas, 2004) adalah:
A. Pengelolaan Pembelajaran
Penyusunan Rencana Pembelajaran, menyangkut: mendeskripsikan tujuan pembelajaran, menentukan materi pembelajaran sesuai kompetensi yang telah ditentukan, mengorganisasian materi, mengalokasi waktu, menentukan metode, merencanakan prosedur pembelajaran, menentukan media pembelajaran, dan menentukan sumber belajar.
Melaksanakan Pembelajaran, menyangkut: membuka pelajaran sesuai metode, menyajikan materi pelajaran secara sistematis, menerapkan metode dan prosedur yang telah ditentukan, mengatur kegiatan siswa di kelas, menggunakan media pembelajaran, menggunakan sumber belajar, memotivasi siswa dengan berbagai sumber, melakukan interaksi dengan siswa/pembelajar, memberikan pertanyaan umpan balik, menyimpulkan pembelajaran, dan menggunakan waktu secara efektif dan efisien.
Menilai Prestasi Belajar, menyangkut: menyusun perangkat penilaian, melaksanakan penilaian, memeriksa jawaban/memberikan skor tes hasil belajar, menilai hasil belajar, mengolah hasil penilaian, menganalisis hasil penilaian, menyimpulkan hasil penilaian, menyusun laporan hasil penilaian, dan memperbaiki soal.
Tindak Lanjut Penilaian, menyangkut: mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, melaksanakan tindak lanjut, mengevaluasi tindak lanjut, dan menganalisis hasil evaluasi.
B. Wawasan Kependidikan
1. Memahami Landasan Kependidikan, menyangkut: menjelaskan tujuan dan hakikat pendidikan, menjelaskan tujuan dan hakikat pembelajaran, menjelaskan konsep dasar pengembangan kurikulum, dan menjelaskan struktur kurikulum.
2. Memahami Kebijakan Pendidikan, menyangkut: menjelaskan visi, misi dan tujuan pendidikan nasional, menjelaskan tujuan pendidikan tujuan intitusional pendidikan, menjelaskan sistem dan standar kompetensi guru, memanfaatkan standar kompetensi siswa, menjelaskan konsep pengembangan pengelolaan pembelajaran yang dilakukan, menjelaskan konsep pengembangan manajemen pendidikan yang diberlakukan, dan menjelaskan konsep dan struktur kurikulum.
3. Memahami Tingak Perkembangan Siswa, menyangkut: menjelaskan psikologi pendidikan yang mendasari perkembangan siswa, menjelaskan tingkat-tingkat perkembangan siswa, dan mengidentifikasi tingkat perkembangan siswa.
4. Memahami Pendekatan Pembelajaran, menyangkut: menjelaskan teori belajar yang sesuai dengan pembelajaranya, menjelaskan strategi dan pendekatan, dan menjelaskan metode pembelajaran.
5. Menerapkan Kerja Sama dalam Pekerjaan, menyangkut: menjelaskan arti dan fungsi kerja sama dan menerapkan kerja sama dalam pekerjaan.
6. Memanfaatkan Kemajuan IPTEK dalam Pendidikan, menyangkut: menggunakan berbagai fungsi internet terutama email dan mencari informasi, menggunakan computer minimal untuk mengetik, dan menerapkan bahasa Inggris untuk memahami literature.
C. Kompetensi Akademik
Kompetensi akademik, yakni menguasai materi pembelajaran sesuai bidangnya.
D. Pengembangan Profesi
Pengembangan profesi, menyangkut: menulis karya ilmiah hasil penelitian, menulis karya ilmiah hasil tinjauan bidang pendidikan, menulis ilmiah popular, menulis buku modul/diktat, membuat alat pelajaran, menciptakan karya seni, dan mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum, dan lain-lain.
Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki seorang tenaga pengajar yang diharapkan memang suatu tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Itupun kalau memang semua pihak memahami hakikat pelaksanaan pendidikan sebagai proses pembebasan. Tenaga pengajar diharapkan memahami dan harus menerapkan di dalam pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Perlu disadari bahwa proses memahami kompetensi tensebut dan menerapkannya oleh tenaga pengajar merupakan bukan hal yang gampang. Persoalan pendidikan di tanah Papua bukan sekedar persoalan tenaga pengajar. Ada banyak persoalan yang kait mengait justru akan mempengaruhinya. Berikut ini akan dipaparkan berbagai persoalan yang melingkupi dunia pendidikan di Papua, khususnya kompetensi tenaga pengajar di tanah Papua.
Realitas Kompetensi Tenaga Pengajar di Papua
Kompetensi tenaga pengajar di Papua sama tidak menggembirakannya dengan pembangunan infrastruktur penungjang pendidikan dan kesejahteraan guru. Dari sisi infrastruktur hampir seluruh bangunan peninggalan zaman kolonial. Begitu pula tenaga guru. Sebagian besar guru (khususnya di pedalaman) adalah juga tamatan Sekolah Guru Bawahan (SGB) zaman klonial. Selebihnya adalah tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Hal yang sungguh memprihatinkan adalah sebagian banguanan sekolah yang dibangun pada zaman kolonial itu, kini sudah ditutup karena persoalan tenaga pengajar. Di pedalaman, sampai saat ini dapat ditemui sebuah sekolah hanya satu atau dua guru saja (baru masalah kuantitas belum lagi masalah kualitas). Demikian adanya kuantitas infrastruktur (yang tidak berisi) dan tenaga pengajar.
Lain persoalan kalau berbicara mengenai kompetensi (mutu) atau kualitas guru yang ada di Papua hingga saat ini, lebih-lebih di pedalaman. Kompetensi tenaga pengajar di Papua terlihat dengan kualitas lulusan. Banyak siswa tamatan sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama di pedalaman yang tidak bisa membaca dan menulis dapat bercerita tentang kompetensi guru di Papua, khususnya di pedalaman.
Keterpurukan kompetensi atau mutu guru di Papua disebabkan karena banyak faktor. Seperti yang telah dipaparkan pada bagian atas bahwa, faktor yang satu menyebabkan faktor yang lain. Faktor mendasar merosotnya mutu guru di Papua menurut pengalaman penulis, antara lain karena:
(a) Sekitar 80 persen guru (khususnya guru SD dan SMP) yang ada di Papua, khususnya di pedalaman adalah guru-guru produk paradigma pendidilan lama (antara tahun 70-an sampai 90-an). Proses pembelajaran yang dilakukan adalah cara pembelajaran yang mereka terima di bangku sekolah puluhan tahun yang lalu. Sistem transfer pengetahuan kaya bank. Para guru itu adalah tamatan Sekolah Guru Bawahan (SGB) zaman klonial. Selebihnya adalah tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Mereka (guru-guru) tidak pernah tahu dan tidak pernah diberitahu secara benar dan tepat mengenai teknik, metode dan paradigma pendidikan yang baru. Kalaupun seandainya ada sosialisasi secara baik tentang paradigma pendidikan baru, dengan fasilitas apa mau dibelajarkan. Buku paket saja mereka masih menggunakan buku paket yang mereka gunakan (ajarkan) sejak tahun 70-an.
(b) Lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan. Jangankan penguasaan paradigma pendidikan atau kurikulum baru, bahan yang harus diajarkan penguasaannya masih lemah. Akibat dari itu situasi pembelajaran yang terjadi adalah MSH (mencatat sampai habis). Pembejarah tidak pernah tahu untuk apa dia belajar, apalagi mengerti apa yang dia catat.
(c) Ketidaksesuaian dengan bidang yang dipelajari guru dengan yang diajarkan di sekolah.
(d) Para guru jarang belajar dari keberhasilan dan kegagalan dari pembelajan yang mereka lakukan.
(e) Kurangnya wibawa guru terhadap murid.
(f) Lemahnya motivasi dan dedikasi yang sungguh-sungguh menjadi pendidik. Kebanyakan orang menjadi guru hanya kebetulan saja sebagai alternative terakhir. Pembangunan manusia tidak bisa lepas dari rendahnya mutu guru (kompetensi intektual) dan material. Faktor materil yang kecil ini menyebabkan orang muda yang berkualitas malas menjadi guru. Yang menjadi guru adalah mereka yang terpaksa dan mutunya biasa-biasa saja.
(g) Keterlibatan guru dalam penyusuan kurikulum sudah tidak ada. Guru hanya sebagai operator kurikulum. Padahal konteks ideal guru harus terlibat mulai dari persiapan penyusunan kurikulum, penyusunan, pelaksanaan, dan sampai pada tahap evaluasi.
(h) Kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir dan keteguhan sikap. Dari kepribadian mereka tidak siap menjadi pendidik. Kebanyakan guru dalam hubungannya dengan murud hanya berfungsi sebagai pengajar bukan pendidik.
(i) Lemahnya perhatian dan kontrol langsung ke lapangan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini pelaksana pendidikan di daerah. Pelaksana pendidikan di daerah malas turun ke lapangan. Tidak pernah ada tinjauan dan sosialisasi paradigma pendidikan baru. Ada rencana training para guru dengan dana yang besar dengan waktu yang panjang, misalnya. Setelah dana tersebut sudah ada, materi dipadatkan yang penting ada laporan, ada presensi, ada piagam untuk urusan credit poit, dan uang tranfort dibagikan. Tidak pernah ada evaluasi dan kontrol. Pokoknya kegiatan terlaksana dan dana terpakai habis. Titik.
(j) Kesejahteraan guru. Kurangnya kesejahteraan guru yang memadai sungguh berpengaruh pada kompetensi guru. Karena gaji gurunya kecil, para guru selalu saja mencari penghasilan tambahan. Guru di kota, pada sore hari berprofesi sebagai tukang ojek atau pekerjaan lain yang mendatangkan uang. Guru di pedalaman pulang sekolah bekerja kebun atau piara ternak. Tidak ada waktu lagi untuk membaca, merencanakan pembelajaran, mengevaluasi. Pokoknya pergi ke sekolah menghabiskan materi pelajaran. Anehnya, kadang-kadang gaji para guru sering terima pertengahan bulan, akhirnya setelah menerima gaji hanya menutup utang. .
Upaya Peningkatan Mutu Guru
Peningkatan kompetensi (profesionalisme) guru adalah juga peningkatan kualitas pendidikan di Papua, walaupun tetap dan terus tak akan terselesaikan. Karena memang masalah pendidikan di Papua adalah sangat kompleks. Namun dari sisi kompetensi guru perlu dicari berbagai alternatif penigkatan profesionalisme guru.
Dari pemaparan kompetensi guru idel dan realitas tenaga pengajar yang dipaparkan di atas perlu terus dicari upaya-upaya memperbaiki mutu guru di Papua. Beberapa yang perlu dilakukan oleh guru, pemerintah pusat dan daerah serta lembaga swasta adalah sebagai berikut:
(a) Tidak boleh memposisikan guru hanya sebagai operator kurikulum dan terlalu banyak berharap kepada kompetensi guru. Kompetensi akan tercipta apabila guru terlibat langsung dalam perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum dan sampai pada tahap evaluasi kurikulum.
(b) Pemerintah membantu para guru untuk mengajar dengan lebih efektif dan efisien. Artinya pemerintah harus membentuk sebuah lembaga pendidikan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Bersama lembaga ini pemerintah dapat membantu para guru untuk meningkatkan mutunya. Lembaga ini bertugas, melaksanakan analisis langsung di lapangan, merencanakan program sesuai kebutuhan di lapangan, melaksanakan kegiatan (pelatihan, lokakarya atau bentuk kegiatan apapun yang tepat untuk meningkatkan mutu pengajar sesuai kebutuhan lokalitas dan tentu saja tuntutan zaman), mengkontrol, dan melakukan evaluasi jangka pendek dan jangka penjang serta memprogramkan kembali.
(c) Di kabupaten-kabupaten di Papua perlu dibagun laboratorium micro teaching. Melalui laboratorum ini juga membantu para guru untuk meningkatkan kemampuan mereka mengajar dan mengelola bahan untuk mengajar. Melalui laboratorium ini berbagai model dan pendekatan diajarkan kepada para guru dan terus dilakukan evaluasi terus menerus supaya para guru semakin mantap.
(d) Pemerintah perlu membagun pusat penelitian, pengembangan dan pelayanan. Hal ini hubungannya dengan kebijakan atau paradigma pendidikan baru dan dengan kenyataan dilapangan bisa sepaham.
(e) Tidak kalah pentingnya adalah melalui dinas pendidikan dan pengajaran kabupaten perlu dilakukan sosialisasi dan evaluasi setiap semester. Untuk mempermudah sosialisasi dan evaluasi ini pemerintah daerah perlu menempatkan pegawai di tiap distrik serta perpustakaan di tingkat distrik.
(f) Idelisme guru yang murni kini sudah tidak terlihak lagi, maka idealisme murni para guru harus ditumbuhkan. Guru dihadapkan pada dua pilihan, apakah tetap berdiri pada idealisme yang utuh atau uang. Karena harapan profesianlsime guru yang ideal akan menjadi apabila guru lepas dari persaoalan matraial dan permasalahn lain yang melingkupinya. Kalau ekonomi guru tidak teratasi sekolah sebagai lembaga pengabdi kemanusiaan semakin hari meremuk-redam.
(g) Kebanggaan guru harus ditumbuhkan. Ada beberapa hal yang memungkinkan hal ini seperti ungkapan Y. Triyono, SJ. Kepala SMP Kanisius Jakarta, (Basis, 2005) adalah: (a) Aktualisasi potensi diri. Kerena itulah kemampuan, kreativitas, dan keberanian guru harus diberi ruang. (b) terpenuhinya kebutuhan mendasar antara lain mengakuan, hormat, perhatian, kepedulian dan sebagainya. (c) keselarasan antara pekerjaan dan nilai-nilai yang diyakininya.
Epilog
Sebenarnya, ketertinggalan pendidikan sepanjang zaman di Papua bukan semata faktor kompetensi (profesionalisme) guru. Persoalan pendidikan di Papua adalah masalah keseriusan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kurang adanya kontrol langsung baik sosialisasi paradigma pendidikan, kontorol pelaksaan pendidikan dan penggunaan bantuan dana pendidikan di lapangan adalah salah satu faktor keterpurukan pendidikan. Dan memang banyak problema lainnya. Persoalan yang satu mengakibatkan persoalan yang lain.
Namun tentu saja, perkembangan selalu menuntut perubahan. Demikian juga dengan dunia pendidikan, maka gurupun harus berubah sesuai paradigma pendidikan kekinian. Perkembangan pendidikan, kemajuan teknologi, psikologi pendidikan, dan pedagogi, serta cara manusia belajar menuntut lembaga pendidikan khususnya guru memikirkan kembali. Maka tidak ada jalan lain, kalau memang kita mau mengubah wajah pendidikan Papua, maka guru harus berubah dan kita harus membuat guru berubah.
Membuat guru berubah (profesional) adalah dengan melibatkan guru dalam perencanaan, pelaksanaan dan sapai pada evaluasi serta umpan balik. Selain itu pemerintah pusak harus membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendidikan di Papua. Lembaga ini ikut ambil bagian dalam pelaksanaan pendidikan di daerah. Mulai dari mengadakan pelatihan-pelatihan tentang paradigma pendidikan baru, mengadakan penelitian, peninjauan ke lapangan langsung, merencanakan program peningkatan mutu tenaga pengajar dengan evaluasi setiap semester. Lembaga ini bisa juga melakukan pengawasan langsung terhadap pengelolaan pendidikan di daerah.
Terlepas dari berbagai kendala, harapannya adalah guru harus berubah atau dibuat berubah. Perubahan yang dimaksud bukan sekedar kompetensi intelektual tetapi juga kecakapan intrapersoanal. Guru yang dewasa adalah guru yang memahami, menerima dan mampu berelasi, dengan diri sendiri, secara mendalam. Selain itu, menumbuhkan nilai-nilai, tujuan-tujuan, aspirasi, etik, dan filosofi seorang guru. Karena kemampuan interpersonal kualitas relasi dengan orang lain, misalnya, rekan kerja, murid, orang tua murid, karyawan, dan masyarakat adalah bagian dari kompetensi yang harus dimiliki guru. Jadi, intinya adalah kompetensi guru perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, kesejateraan guru juga harus menjadi perhatian yang sejalan dengan peningkatan mutu. Pemerintah pusat harus membentuk salah satu lembaga yang benar-benar mempunyai motivasi untuk mengubah. Melalui lembaga itulah berbagai kegiatan peningkatan mutu dapat dilakukan, termasuk idealisme dan kebanggaan guru.
Catatan: Dari berbagai sumber (sumber ada di penulis). Dari blog pribadi untuk perubahan pendidikan Papua (
Home
»
Unlabelled
»
Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pengajar: Agenda Mendesak Pembangunan Pendidikan di Tanah Papua
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
0 Komentar untuk "Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pengajar: Agenda Mendesak Pembangunan Pendidikan di Tanah Papua"
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).