Oleh Tonny Trimarsanto
Belakangan aktivitas sinema Asia memang mendapatkan sorotan. Mungkin, kita baru saja dibuat terpesona oleh film tentang wanita Afghanistan Kandahar, arahan sutradara Iran Makmalbaf. Film Kandahar, memperoleh tanggapan apresiatif dan komersial di banyak belahan dunia. Film Kandahar ini, juga memperoleh penghargaan dari Cannes Film Festival 2001, serta menjadi salah satu film politik yang banyak ditonton oleh pengambil kebijakan politik global tertinggi, termasuk Presiden AS George W Bush. Ini catatan terbaru tentang produktivitas sinema Asia.
Berbincang soal prestasi Asia, paling tidak juga tak bisa dilepaskan dengan produktivitas negara India, Iran, Cina, Hong Kong dan Jepang. India, misalnya, dalam setahun mampu memproduksi lebih dari 900 judul film cerita panjang (bioskop). Pasar mereka bukan hanya masyarakat India saja. Melainkan negara Asia yang lain, termasuk Indonesia adalah pasar yang potensial.
Selain itu, berbincang soal sinema Asia tak lepas pula dari prestasi sinema Iran. Perfilman Iran, memang tengah naik daun belakangan ini. Sineas-sineas Iran begitu mendominasi panggung festival internasional dengan karya-karya humanisme, kesederhanaan dan keseharian masyarakat Iran sebagai temanya. Tema politik, tak pernah bisa disentuh, lantaran rezim politik sangat membatasi kreativitas.
Justru dari penerapan sistem represif itulah, maka film-silm Iran meraih sukses komersial di banyak negara. Seperti yang diungkapkan media berkala Screen International (2001), misalkan dari film The Colour of Paradise menuai keuntungan US$ 1.810.145, Children of Heaven (US$ 925.420), Gebbeh (US$ 474.453), White Ballon (US$ 474.047), The Taste of Cherry (US$ 252.987), The Wind Will Carry Us (US$ 174.288), The Aple (US$ 116.758), The Mirror (US$ 69.255), Through The Olives Three (US$ 40.300), dan The Silence (US$ 32.988).
Itu baru jumlah. Belum lagi penghargaan yang diperoleh sineas Iran dalam berbagai forum penghargaan internasional, semacam Jaffar Panahi, Samira Malkhmalbah, Abas Kiorastami, Majid Majidi, Jafar Panahi dan yang lain. Sosok sineas Iran inilah, yang belakangan kian memperoleh tempat di panggung film global.
***
Pada kenyataannya, prestasi sinema Asia di panggung global, tak bisa dilepaskan dari beberapa hal. Pertama, langkah politis yang diambil Hollywood. Belakangan ini tampak bahwa, kebijakan perfilman Hollywood memberi ruang yang terbuka bagi para aktor, sutradara untuk mengembangkan kariernya di Hollywood.
Tercatat, ada begitu banyak nama sutradara Asia yang sukses secara komersial di panggung global. Sebutlah sutradara Cina-Hong Kong, seperti Ang Lee (Crouging Tiger Hidden Dragon, Sense and Sensibility), Stanley Tong (Rumble in The Bronx), John Woo (Mission Imposible 2, Face Off, Broken Arrow), Tsui Hark (Double Team), dan yang lain.
Sineas Asia, ternyata diberi ruang yang lebar untuk berekspresi. Alhasil, bakat Asia yang berpadu dengan sistem manajemen Hollywood, menjadikan karya film sineas Asia mempunyai nilai kualitatif tutur yang berbeda jika dibandingkan dengan sineas asli Amerika.
Kedua, Hollywood juga membuka diri pada kedatangan aktris-aktor Asia untuk bisa menapaki ”kariernya” yang lebih bergengsi. Maka, peluang inipun lantas dijadikan kesempatan emas bagi banyak bintang Asia. Tercatat Michele Yeoh, Gong Li, Joan Chen, Chow You Fat, Samo Hung dan Jackie Chen berjaya dan dikenal publik penonton global.
Sekadar catatan saja, bahwa film yang dibintangi Jackie Chan, selalu dinanti penonton. Mungkin kita ingat film Rush Hour meraih keuntungan US$ 141,2 juta, Shanghai Noon (US$ 54,7 juta), Rumble in The Bronx (US$ 32,4 juta). Jumlah yang cukup fantastis, memang. Untuk ukuran film dengan bintang Asia.
Ketiga, secara tidak langsung Hollywood ternyata juga jeli untuk memperluas pasar film, dengan jumlah keuntungannya. Logikanya adalah, penonton film Asia adalah pasar yang sangat menggiurkan, jika dilihat dari jumlah penduduknya. Maka, untuk bisa menggarap pasar Asia yang lebih serius, maka dipakailah pendekatan: gaya tutur bakat Asia, namun dikemas cara Hollywood.
Dari strategi politik semacam ini, maka lahirlah film genial semacam Broken Arrow, Face Off, Mission Imposible, Rush Hour, Autum in New York hingga Crouging Tiger Hidden Dragon. Jika faktanya semacam ini, maka sungguh jenius Hollywood sebagai sebuah industri hiburan. Paling tidak, kesan Hollywood sebagai tempat pengembangan bakat, mendongkrak image yang selama ini menempatkan Hollywood sebagai pabrik mimpi saja. Tapi, di luar perhitungan itu, ternyata Hollywood semakin bisa dihidupi.
Apakah ini bukan sebuah langkah yang patut untuk diwaspadai? Yang pasti, sebenarnya industri film Asia sudah mapan. Tidak bergantung pada Hollywood sekalipun, sebenarnya sudah bisa hidup. Kenyataan ini tampak dari kuatnya film-film Asia, yang tidak kalah bersaing dengan film Hollywood untuk pasar negaranya sendiri.
Asumsi ini terbukti dari pengalaman satu tahun belakangan ini. Misalnya untuk pasar penonton di Korea, film lokal Korea Selatan semacam The Foul King memperoleh pendapatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan film Hollywood semacam Gladiator ataupun Mission Imposible 2. Di pasar Jepang, film animasi Pokemon dan The Ring mengalahkan popularitas The Mummy. Film Not One Less arahan sutradara Yang Yimou, mengalahkan perolehan komersial Star Wars di Cina (Tony Ryan,2001).
Sungguh prestasi yang menakjubkan tentunya. Sekalipun produktivitas Hollywood begitu gencar menyerbu, tetapi untuk pasar penonton lokal, ternyata lebih menyukai karya sutradara lokal. Ini yang sering terjadi. Bisa jadi, politik Hollywood untuk mencangkok sineas Asia dengan kemasan Hollywood adalah strategi untuk bisa menaklukkan pasar lokal.
***
Perkembangan industri film Asia memang begitu pesat. Konon, Hollywood tengah mengalami ketakutan ketika segitiga India-Hong Kong-Cina ingin bersatu dalam memproduksi, mendistribusikan filmnya. Ini berarti, akan tercipta kebijakan politik dunia perfilman kawasan yang lebih ketat. Terutama untuk bisa menutup kemungkinan membanjirnya film-film Hollywood.
Indonesia, sebagai bagian dari pelaku sinema kawasan Asia, sudah tentu bisa mengambil sikap yang lebih strategis. Logikanya, saat ini jenis film Hollywood memang masih dominan. Namun, dominasi tersebut mulai surut, seiring dengan kebijakan politik perfilman nasional yang membuka diri bagi masuknya film dari Eropa, terutama Prancis dan Inggris.
Sebuah langkah jitu, tentunya. Langkah yang strategis untuk bisa keluar dari dominasi Hollywood. Dominasi estetika, gaya tutur, opini, sudah tentu penting untuk didekonstruksi. Selagi mampu dan ada peluang kenapa tidak?
Penulis adalah sutradara dan pengamat film.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
0 Komentar untuk "Resep Lokal, Pasar Global Sinema Asia"
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).