kompas.comSEPEKAN lalu, Israel, resmi melarang pemimpin Palestina Yasser Arafat pergi ke Bethlehem untuk merayakan Natal. Israel juga memutuskan untuk tetap mempertahankan pasukannya di Tepi Barat sepanjang hari libur Natal.
RAANAN Gissin, seorang penasihat senior untuk Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, mengatakan, Arafat dilarang Israel ke Bethlehem pada hari Natal karena "ia tidak cukup berupaya menghentikan serangan teror terhadap warga Israel." Arafat juga dituduh tidak mempunyai niat baik, dan dituduh terlibat di dalam "terorisme."
Padahal, sudah menjadi tradisi, setiap tahun pada hari Natal pemimpin Palestina ini ikut merayakan Natal di kota kelahiran Yesus, di Bethlehem. "Menjadi kewajiban saya untuk berada di sana (Bethlehem, pada waktu Natal)," kata Arafat, dari markasnya yang porak-poranda dihajar dan dikepung pasukan Israel pada tahun-tahun terakhir ini.
Sampai tahun lalu, Arafat selalu ikut merayakan Natal di Bethlehem-kota dengan 30.000 penduduk di mana separuh Kristen dan separuh Muslim-sejak tempat kelahiran Yesus itu diserahkan ke Palestina pada tahun 1995.
Keputusan Israel itu seakan merupakan kelanjutan dari peristiwa April lalu. Ketika itu, tentara Israel dengan mesin perangnya menduduki Bethlehem untuk memburu orang-orang Palestina yang dituduh sebagai teroris. Saat itu, muncul berbagai kecaman dari pelbagi penjuru dunia. Apakah ini merupakan awal dari babak "kegelapan" Bethlehem? Itulah pertanyaan yang muncul saat itu.
Masyarakat dunia tahu bahwa sejak Desember 1995, Bethlehem kembali lagi pada pemiliknya yang sah yakni rakyat Palestina, sesuai dengan Kesepakatan Oslo (1993) setelah sekian lama diduduki Israel.
Dimulai dengan dikeluarkannya Deklarasi Balfour 1917, nasib Bethlehem tidak menyenangkan. Deklarasi ini merupakan peletak dasar terjadinya konflik antara bangsa Arab dengan bangsa Yahudi saat ini.
Deklarasi Balfour ialah surat James Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris pada waktu itu, kepada Baron Rothchild, seorang Yahudi Amerika, yang berisi jaminan dan dukungan Pemerintah Inggris atas dibentuknya suatu negara Yahudi yang akan berkedudukan di Palestina. Dengan catatan: hak penduduk asli di daerah itu dihormati.
Setelah keluarnya Deklarasi Balfour, hingga tahun 1948, Bethlehem dan Palestina berada di bawah pemerintah protektorat Inggris. Selama masa itu, Bethlehem menjadi salah satu pusat perjuangan rakyat Palestina melawan pemerintah kolonial Inggris. Seusai perang Arab-Israel tahun 1948, pasukan Mesir memasuki Bethlehem dan keluar tahun 1949. Sejak tahun itu Bethlehem berada di bawah kekuasaan Yordania hingga Perang Arab-Israel bulan Juni 1967. Dan sejak tahun 1967, Bethlehem berada di bawah pendudukan Israel.
AKSI militer Israel di Bethlehem dan keputusan melarang Arafat berkunjung ke kota itu, seperti menegaskan kembali betapa kota yang terletak sekitar 9 kilometer sebelah selatan Yerusalem itu memiliki kekuatan yang menggetarkan bagi Israel. Mereka melihat bahwa bila Arafat datang ke Bethlehem maka ia akan memperoleh kembali kekuatan perjuangannya untuk menegakkan kemerdekaan Palestina.
Bethlehem diduga berasal dari nama Bit Ilu Lahama (nama lain dari kota Bethlehem) yang artinya menurut kaum Kan'an adalah makanan dan kekuatan. Latar belakang penggunaan nama itu adalah karena kota tersebut terletak di kawasan subur, tempat gembala hewan ternak dan terdapat banyak ladang gandum, zaitun, dan sayur-sayuran. Kota Bethlehem juga punya nama lain yaitu Kota Afrat atau Afratah yang artinya kesuburan dan tumbuh-tumbuhan.
Dalam sejarah, tercatat gamblang bahwa sejak dulu dari Bethlehem lahir kekuatan "pemberontakan", kekuatan melawan kemapanan dan penindasan. Ketika raja Saul-sekitar 3.000 tahun lalu-berperang melawan serbuan bangsa Filistin dan Amalek, ia mendapatkan bantuan dari prajurit-prajurit Bethlehem. Bahkan, salah satu panglima Saul yang terkenal, yaitu Daud, berasal dari kota itu. Ketika Daud akhirnya menjadi raja Israel, Bethlehem mendapat kedudukan khusus. Kota itu dianggap sebagai kota yang selalu menghasilkan tokoh-tokoh pelawan kezaliman.
Tidak heran bahwa kemudian ketika orang-orang Yahudi dipulangkan dari pengasingan di Babilonia di abad V SM, Bethlehem menjadi tujuan pertama. Dalam pandangan para tokoh keagamaan waktu itu, Bethlehem merupakan kota yang tidak pernah terkena "polusi" budaya penjajah. Cukup mengherankan bahwa karena predikat itu, maka Bethlehem tidak pernah dijadikan pusat kemapanan kekuasaan. Oleh para pembaharu keagamaan Yahudi, Bethlehem bahkan dijadikan semacam titik awal sebuah pemberontakan terhadap kekafiran ibu kota Jerusalem.
Karena dinilai sebagai "kota kelahiran" kaum revolusioner, maka ketika tentara Roma memasuki Palestina sekitar tahun 135 SM, Bethlehem juga dijadikan sasaran gempuran. Pertempuran Bar Kokhba atau yang sering disebut sebagai Revolusi Bar Kokhba (132-135 SM) di bawah kepemimpinan Shimon Bar Kokhba yang terjadi di wilayah itu sering disebut-sebut sebagai salah satu pembuktian bahwa memang dari Bethlehem muncul perlawanan. Ketika itu, Shimon Bar Kokhba memimpin perlawanan melawan penguasa Romawi, Kaisar Hadrian.
Jauh tahun sebelumnya, getaran Bethlehem sebagai kota revolusi juga dirasakan oleh Raja Herodes Agung (73-4 M), lambang kemapanan dan kezaliman. Sejarah mengisahkan, di masa-masa akhir hidupnya, ia selalu merasa terancam terhadap munculnya seorang pemimpin baru.
Siapa saja yang menurut perasaannya dinilai sebagai calon pemimpin, dibunuh begitu saja. Herodes juga membantai bayibayi Kota Bethlehem. Itu yang terjadi di waktu kelahiran Yesus. Herodes memang kemudian salah. Pemimpin baru itu ternyata bukan pemimpin politik tetapi pemimpin nilai-nilai nurani baru. Dan terhadap suara nurani, semua memang bisa tergetar.
ITULAH Bethlehem. Dari Bethlehem, manusia diajak untuk menghargai kemanusiaannya, betapa pun lemah dan terbatas kemanusiaan itu. Betapa pun penuh dengan persoalan, kemanusiaan itu bernilai mahal.
Akan tetapi, apa yang terjadi di Timur Tengah hingga saat ini justru sebaliknya: manusia tidak menghargai kemanusiaannya. Mereka saling bunuh. Mereka saling meniadakan kemanusiaannya.
Apakah dari situasi seperti itu akan lahir perdamaian? Pertanyaan itu terus dan terus bergema, namun tidak pernah ada jawabannya. Larangan Israel terhadap Arafat yang ingin merayakan Natal di Bethlehem juga merupakan ancaman terhadap perdamaian.
Damai, memang, telah hilang dari Bethlehem. Wali Kota Bethlehem Hanna Nasser mengatakan, kota yang dihuni 30.000 orang Palestina itu kini mulai kekurangan pangan. Penduduk juga dipaksa tentara Israel untuk tetap tinggal di dalam rumah.
"Infrastruktur kami, bangunan-bangunan kami, jalan-jalan dan bahkan lorong-lorong kami telah dihancurkan. Kami tidak mampu memperbaiki lagi karena biayanya jutaan dollar. Apalagi, Israel hanya mencabut jam malam selama beberapa hari," katanya seperti dikutip situs news.com.au.
Ironis! Di saat manusia-termasuk Arafat-ingin kembali merayakan Natal, kelahiran Yesus, justru saat itulah Israel meniadakan kemanusiaan manusia. Padahal, makna paling mendalam Natal bagi mereka, umat Kristiani, adalah bahwa Allah mau beserta kita manusia: Allah datang ke dunia ini. Dengan demikian Natal menjadi ungkapan solidaritas Allah dengan manusia.
Menurut kepercayaan kristiani, dalam anak Yesus, Allah menjadi solider dengan manusia, menjadi salah satu dengan kita, senasib sepenanggungan. Ia bersama kita manusia di perjalanan, untuk selamanya. Ia tidak pernah akan meninggalkan kita. Yesus disebut Immanuel, "Allah beserta kita".
Sebenarnya, Arafat juga ingin memberikan contoh solidaritas itu. Dengan datang ke Bethlehem, ia ingin menunjukkan bahwa bangsa Palestina, khususnya, dan bangsa-bangsa di dunia ini pada umumnya, adalah satu; satu ciptaan Allah.
Solidaritas adalah kesediaan untuk berada di samping saudara, menjadi kehadiran baginya yang mendukung. Solidaritas tidak mengandaikan identitas pandangan, tidak berarti bahwa tidak ada salah faham. Akan tetapi, solidaritas adalah sikap yang terbuka, yang memberi semangat. Solidaritas tidak mau menguasai, melainkan membebaskan, ia mendukung saudara agar ia dapat menjadi diri dan merasa aman.
Namun, semua itu tidak ada dalam kamus Israel. Yang ada hanyalah bagaimana meniadakan Palestina. Itulah yang terjadi dan dilakukan selama ini.
Hasilnya adalah pembunuhan dibalas pembunuhan, pertumpahan darah dibalas pertumpahan darah, dan perdamaian pun semakin menjauh tak tergapai. Lingkaran kebencian itu makin kokoh dan tak terputuskan.
Bethlehem pun makin merana, jauh dari perdamaian dan kedamaian. Padahal, bukankah tidak ada yang lebih baik daripada perdamaian, tidak ada yang lebih mulia dibanding hidup berdampaian secara damai, saling menghormati dan saling menghargai sebagai sesama manusia? (Trias Kuncahyono)
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
1 Komentar untuk "Bethlehem, Arafat, dan Perdamaian yang Pudar"
Tidak heran bahwa kemudian ketika orang-orang Yahudi dipulangkan dari pengasingan di Babilonia di abad V SM.
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).