SEJARAH ISLAM
Ini dinasti berusia paling panjang dalam sejarah Islam. Muhammad al-Saffah atau Abu Abbas berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayah pada 750 Masehi. Ia memanfaatkan ketidakpuasan orang-orang Islam non-Arab, kalangan Syiah serta keluarganya sendiri, Keluarga Hasyim. Ia membangun kekuasaan itu bersama Abu Muslim dari Khurasan. Maka yang dilakukannya adalah mengurangi pengaruh Arab di pemerintahan.
Hanya empat tahun Abu Abbas memerintah. Ia meninggal. Khalifah berikutnya adalah Abu Ja'far (754-775). Dialah khalifah pertama menggunakan gelar. Untuk dirinya sendiri, ia menggunakan gelar Al-Mansyur. Pemerintahannya banyak mengakomodasi kepentingan masyarakat Persia. Ibukota negara bahkan dipindahkan ke tepi Sungai Tigris -dekat Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia dulu.
Disebutkan, Al-Mansyur melakukan survei mendalam untuk penentuan lokasi ibukota. Dia mengirim staf untuk tinggal di sana guna membuat laporan keadaan wilayah itu di berbagai musim. Ia disebut mendatangkan sekitar 100.000 pekerja dari berbagai daerah - Kufah, Basrah, Mosul maupun Syria-untuk menjadi arsitek, tukang bangunan, juru pahat, pelukis untuk membangun tempat yang dulu dipakai sebagai peristirahatan Kaisar Kisra Anusyirwan. Sekitar tahun 762 Masehi, lahirlah kota Baghdad sebagai salah satu kota termegah di dunia saat itu.
Al-Mansyur dianggap sebagai tonggak pembangun kejayaan Abbasiyah. Namun itu dilakukannya dengan tangan besi pula. Abdullah dan Shalih bin Ali, dua orang pamannya yang menolak berbaiat untuknya, dibunuh Abu Muslim atas suruhannya. Abu Muslim sendiri kemudian ia bunuh. Untuk militer, ia kembali melakukan ekspansi untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Bani Umayah dulu. Ia mengenalkan konsep 'wazir' yang sekarang diistilahkan sebagai perdana menteri. Jawatan pos diberi tugas intelejen -termasuk mengawasi para gubernur.
Di sisi lain, Baghdad dibangunnya sebagai pusat peradaban. Ilmu dan kesenian dikembangkan. Di Kufah, di masa Al-Mansyur, imam Abu Hanifah (700-767) diberinya tempat yang baik. Abu Hanifah berkesempatan untuk merumuskan hukum-hukum Islam, yang kemudian dikenal sebagai mazhab Hanafi. Sebuah mazhab yang sangat dipengaruhi kecenderungan kalangan intelektual muslim di Kufah: kuat dalam rasionalitas.
Kemakmuran masyarakat terwujud pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan tembaga, berjalan dengan baik. Basrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu pelabuhan terpenting di dunia.
Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan tumbuh subur. Di Madinah, Imam Malik (713-795) juga menyusun fikih atau hukum Islam. Ia tak seperti Hanafi. Ia banyak menggunakan hadis secara langsung serta tradisi masyarakat Madinah. Puncak peradaban Islam terjadi pada masa Harun Al-Rasyid (786-809). Bukan hanya kemakmurn masyarakat yang dicapai, namun juga pendidikan, kebudayaan, sastra dan lain-lain.
Harun Al-Rasyid membangun rumah-rumah sakit, sekolah kedokteran, serta farmasi. Saat itu, diperkirakan terdapat 800 orang dokter. Ia juga membangun pemandian-pemandian umum. Istrinya membangun saluran air dari Taif untuk memenuhi kebutuhan air di Mekah yang tak cukup dipenuhi oleh sumur zamzam.
"Masa keemasan" ini dilanjutkan oleh Al-Ma'mun (813-833). Dia mendirikan banyak sekolah. Berbagai buku Yunani diterjemahkannya ke bahasa Arab. Ia mendirikan pula "Bait Al-Hikmah" -perpustakan sekaligus perguruan tinggi. Di masanya, Imam Syafi'i (767-820) serta Imam Ahmad bin Hanbal (780-855) juga menulis kitab fikih yang kemudian menjadi mazhab sendiri. Mazhab dengan pendekatan yang berada di antara mazhab Hanafi dan Maliki. Pemikir Islam yang mengedepankan rasionalitas, yang dikenal dengan sebutan Mu'tazilah, yakni Abu Huzail (752-849) dan Al-Nazam (801-835) juga melempar gagasannya pada periode ini.
Hingga khalifah Al-Mutawakkil (847-861), Daulat Abbasiyah masih menampakkan kebesarannya. Namun, dalam politik, Al-Mutawakkil mulai membuat sejumlah perubahan. Ia lebih berorientasi pada orang-orang Turki dibanding Persia. Paham keagamaan negara pun ia ubah. Khalifah Al-Ma'mun menggunakan paham rasional mu'tazilah untuk negara. Al-Mutawakil mencabut paham itu, dan menggunakan aliran 'salaf' dari mazhab Hambali.n
Daulat Abbasiyah II
(750-1258 Masehi)
Tak banyak terkisahkan pada sejarah Daulat Abbasiyah akhir Abad 9 dan awal Abad 10. Terutama sejak Khalifah Al-Mutawakkil meninggal pada 861 Masehi. Riwayat hanya menyebut bahwa pemerintahan Baghdad terus dikuasai oleh para panglima militer berdarah Turki. Para panglima itu yang mengangkat khalifah dari keturunan khalifah-khalifah terdahulu. Namun mereka hanya dijadikan simbol.
Badri Yatim dalam "Sejarah Peradaban Islam" mencatat adanya 12 khalifah saat Daulat Abbasiyah dikuasai para panglima militer Turki. Hanya empat khalifah yang diganti karena meninggal secara wajar. Delapan lainnya diturunkan secara paksa oleh militer, bahkan juga dibunuh. Keadaan ini menjadikan wibawa Dinasti Abbasiyah semakin merosot. Satu per satu wilayah melepaskan diri dari kendali pusat.
Simbol-simbol peradaban, seperti ilmu pengetahuan, kesenian dan sastra, tidak lagi berkembang. Satu-satunya paham keagamaan yang tumbuh pada masa ini adalah pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ari (873-935), yang kerap disebut aliran tradisional dalam teologi. Al-Asy'ari sempat belajar paham mu'tazilah yang banyak dipengaruhi oleh logika Yunani. Ia lalu mengkritisi paham tersebut dengan mengambil pendekatan tekstual dan tradisi. Sejarah pemikiran Islam kemudian banyak diwarnai tarik-menarik kedua pendekatan tersebut, sampai sekarang.
Wibawa kekhalifahan Abbasiyah bangkit kembali setelah kekuasaan di tangan keluarga Buwaih. Khalifah, lagi-lagi hanya menjadi simbol sebagaimana Kaisar Jepang di era Tokugawa. Ketika wazir (perdana menteri) dan militer bertikai, khalifah menyerahkan kekuasaan pada tiga kakak beradik Ali, Hasan dan Ahmad -anak Abu Syuja' Buwaih, nelayan miskin dari Dailam. Ahmad memegang kendali di Baghdad, Ali menguasai wilayah Persia Selatan yang berpusat di Syiraz. Hasan berkuasa di Persia Utara, termasuk kota Ray dan Isfahan.
Di awal masa Bani Buwaih (945-1055), kemakmuran kembali berkembang di wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Pembangunan gedung pun semarak. Industri karpet berkembang pesat. Intelektual bermunculan. Antara lain Ibnu Sina (980-1037), penulis Qanun fi Al-Thibb yang menjadi rujukan ilmu kedokteran Barat sampai Abad 19. Juga Al Farabi yang wafat pada 950 Masehi dan Al-Maskawaih (wafat 1030 Masehi). Namun dalam keagamaan, terjadi kerancuan paham. Kekhalifahan menganut paham Sunni, sedangkan Bani Buwaih berpaham Syi'ah.
Lagi-lagi pertikaian keluarga, membuat kekuatan Bani Buwaih merosot. Kekhalifahan Abbasiyah kehilangan pamor lagi. Di Mesir, berdiri Kesultanan Fathimiyah. Di Afghanistan, keluarga Ghaznawiyah memerdekakan diri. Kemudian muncul dinasti Seljuk yang berawal dari kabilah-kabilah kecil di Turkistan yang berhasil dipersatukan oleh Seljuk anak Tuqaq. Pemimpin Seljuk kemudian Thugrul Beq, berhasil merebut beberapa wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Tak seperti Bani Buwaih, mereka menganut paham Sunni.
Atas undangan Khalifah Qaim, Thugrul Bek memasuki Baghdad. Para keturunannya kemudian menyetir kekuasaan di Baghdad. Banyak keluarga Seljuk lainnya membangun kekuasaan kecil-kecil di luar Baghdad. Sejarah mencatat masa terpenting kekuasaan Seljuk terjadi pada kepemimpinan Alp Arselan (1063-1072). Khalifah masa itu adalah Sultan Maliksyah, dengan Nizham Al-Mulk sebagai Perdana Menteri.
Nizham membangun Universitas Nizhamiyah pada 1065 di Baghdad. Inilah yang disebut model pertama universitas yang kini dikenal dunia. Di berbagai kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang universitas ini. Nizham juga membangun Madrasah Hanafiah. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Banyak intelektual lahir pada masa ini. Diantaranya Zamakhzyari di bidang tafsir dan teologi, Qusyairi di bidang tafsir, Imam Al-Ghazali sebagai tokoh tasawuf, juga sastrawan Fariduddin Attar dan Omar Kayam.
Di militer, 15.000 pasukan Alp Arselan mengalahkan pasukan gabungan Romawi, Perancis dan Armenia. Sepeninggal Arselan, pasukan itu malah merebut kota Yerusalem dari Dinasti Fathimiyah pada 471 Hijrah, atau 1078 Masehi. Inilah peristiwa yang menyulut terjadinya Perang Salib.
Waktu berlalu. Kekhalifahan melemah. Hampir setiap propinsi melepaskan diri. Pada 1199, kekuasaan Keluarga Seljuk di Baghdad berakhir. Para khalifah keturunan Abbas masih melanjutkan kepemimpinan negara. Namun hanya terbatas di sekitar Baghdad. Pada 1258, tiba-tiba sekitar 200 ribu pasukan Mongol muncul di bibir kota Baghdad di bawah komando Hulagu Khan. Khalifah Al-Mu'tashim menyerah.
Ia menyangka Hulagu Khan hendak menikahkan anak perempuannya dengan Abu Bakar, putra khalifah. Maka khalifah dan seluruh pembesar istana datang ke kemah Hulagu membawa berbagai hadiah. Di tempat itulah, Hulagu memenggal leher khalifah dan seluruh pengikutnya satu per satu. Kota Baghdad dihancurkan. Seluruh kegemilangan yang dibangun oleh Al-Mansyur, dan kemudian juga oleh Harun Al-Rasyid itu luluh lantak. Baghdad kembali rata dengan tanah.
Daulat Umayah I
(661-750 Masehi)
Ini adalah periode pemerintahan Islam di bawah kekuasaan Keluarga Umayah. Para ahli sejarah menunjuk kekuasaan ini berawal pada tahun 40 Hijriah atau 661 Masehi. Pendiri dinasti ini adalah Muawiyah anak Abu Sofyan. Abu Sofyan adalah pemimpin Mekah yang menentang Rasul. Ia masuk Islam setelah kota Mekah ditaklukkan oleh pasukan Islam dari Madinah.
Muawiyah semula adalah Gubernur Syria berkedudukan di Damaskus. Ia memberontak pada Khalifah Ali bin Abu Thalib, sampai Ali wafat dibunuh orang Khawarij. Pengikut Ali kemudian mengangkat Hasan -anak Ali-sebagai khalifah baru. Namun Hasan, yang tak ingin konflik, lalu mengikat perjanjian damai dengan Muawiyah. Jadilah Muawiyah penguasa tunggal masyarakat muslim waktu itu.
Muawiyah memindah ibukota negara dari Madinah ke Damaskus. Ia juga mengganti sistem pemerintahan. Hingga masa Ali, pemimpin negara berlaku sebagai seorang biasa. Tinggal di rumah sederhana, menjadi imam masjid, dan memenuhi kebutuhan sendiri secara biasa. Muawiyah meniru sistem kerajaan untuk dirinya. Ia hidup bagai raja -dalam benteng, bergelimang kemewahan, bepengawalan lengkap dengan kekuasaan mutlak. Untuk jabatannya, ia menyebut diri sebagai "khalifatullah" ("wakil" Allah di bumi) -istilah yang banyak dipakai para sultan kemudian.
Banyak yang diperbuat oleh Dinasti Umayah. Antara lain dengan membangun dinas pos -termasuk penyediaan kuda dan perlengkapannya. Mereka juga mengangkat Qadi atau hakim sebagai profesi. Khalifah Abdul Malik mencetak uang sendiri dengan menggunakan tulisan Arab sebagai pengganti uang Byzantium dan Persia. Administrasi pemerintahan dibenahi. Bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi pemerintahan.
Langkah ini dilanjutkan oleh anak Abdul Malik, Walid (705-715 Masehi). Ia membangun panti-panti asuhan untuk orang-orang cacat. Pekerja untuk rumah-rumah tersebut dibayarnya sebagai pegawai. Walid juga membangun infrastruktur berupa jalan-jalan raya yang menghubungkan antar wilayah. Selain itu ia juga membangu gedung-gedung pemerintah, masjid-masjid, bahkan juga pabrik. Di masanya, masyarakat mencapai puncak kemakmurannya.
Namun khalifah yang paling banyak dipuji adalah Umar bin Abdul Aziz (717-720). Ibunya adalah cucu Umar bin Khattab. Ia lebih menekankan pembangunan moral dan sosial dibanding fisik. Ia menolak jika dipilih menjadi khalifah semata karena dirinya anak khalifah. Ia bahkan merangkul musuh-musuh Dinasti Umayah, termasuk kelompok Syi'ah, untuk memilih khalifah yang baru. Sampai kemudian semua sepakat untuk memilihnya sebagai khalifah.
Umar memberikan kebebasan beribadah kepada masyarakat dari semua kelompok agama. Pajak yang membenani masyarakat pun ia peringan. Ia juga disukai orang-orang non-Arab atau 'mawali'. Sebelum masa Umar bin Abdul Aziz, warga non-Arab dianggap sebagai "warga kelas dua". Umar mensejajarkan bangsa apapun tanpa kecuali.
Dalam kehidupan sehari-hari, Umar bin Abdul Aziz mewarisi sikap kakek buyutnya, Umar bin Khattab. Bedanya: Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang bertemperamen keras, sedangkan Umar bin Abdul Aziz adalah seorang yang lembut. Kesederhanaannya akan selalu dikisahkan sepanjang sejarah. Di antaranya adalah ketika ia -suatu malam-bekerja di ruangannya yang berpenerangan lampu. Lalu anaknya datang minta izin untuk bicara dengannya. Umar bertanya, pembicaraannya itu untuk keperluan negara atau keluarga. "Urusan keluarga," kata anaknya. Umar lalu mematikan lampu itu. Lampu tersebut dinyalakan dengan minyak yang dibiayai negara.
Ia tak mau urusan keluarga menggunakan lampu dengan minyak negara. Sayang, Umar tidak lama memimpinn negara. Tiga tahun setelah diangkat, ia wafat. Setelah Umar, para khalifah lebih banyak hidup bergelimang kemewahan. Moralitas mereka jatuh. Kepercayaan rakyat merosot tajam. Khalifah Hisyam anak Abdul Malik berusaha mengatasi itu. Namun keadaan telanjur tak terkendali. Pada tahun 750 Masehi, setelah sekitar 90 tahun berkuasa, Daulat Umayah pun runtuh.
Daulat Umayah II
(661-750 Masehi)
Kekuasaan yang dibangun Muawiyah bagi Daulat Umayah diawali dengan noda hitam. Pemberontakan Muawiyah terhadap Khalifah Ali yang melahirkan Perang Shiffin menyebabkan sekitar 80 ribu orang tewas. Badri Yatim, dalam buku 'Sejarah Peradaban Islam' menyebut: "Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak." Praktek yang bertolak belakang dengan nilai Islam sebenarnya.
Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai penggantinya. Cara demikian tidak dikenal Islam dalam pemilihan pemimpin negara. Masyarakat berontak. Sebagian mengangkat Hussein anak Ali sebagai khalifah. Melalui penipuan, Yazid menghancurkan kubu Hussein. Hussein yang berencana memenuhi ajaka damai Muawiyah, ternyata dibunuh. Di padang Karbala, Hussein dipenggal. Kepalanya dibawa ke Damaskus.
Abdullah anak Zubair juga tak mengakui kekhalifahan Yazid. Abdullah berkedudukan di Mekah. Tentara kerajaan di masa Khalifah Abdul Malik kemudian menyerbu Mekah. Keluarga Zubair dihancurkan. Abdullah wafat dalam pertempuran pada 73 H atau 692 Masehi.
Di masa Muawiyah, kekuasaan melebar ke Barat hingga Tunisia yang berada di seberang Italia. Di Timur, wilayah kekuasaan telah menjangkau seluruh tanah Afghanistan sekarang. Ekspedisi laut berulangkali menyerbu ke Byzantium, namum gagal menaklukkan Romawi. Wilayah itu kemudian diperluas oleh Khalifah Abdul Malik. Wilayah Asia Tengah seperti Bukhara, Khawarizm, Ferghana hingga Samarkand mereka kuasai. Pasukan Umayah bahkan wilayah Sind dan Punyab di India dan Pakistan.
Terobosan paling monumental terjadi di Gibraltar, Spanyol, di masa Khalifah Walid. Seluruh wilayah Afrika Utara -termasuk Aljazair dan Maroko-mereka kuasai. Pada tahun 711 Masehi, Panglima Perang Thariq bin Ziyad memimpin pasukan menyeberang selat dari Maroko ke dataran Spanyol di Eropa. Ibukota Spanyol segera mereka kuasai. Demikian pula kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo. Seluruh Spanyol pun menjadi wilayah kekusaan Bani Umayah.
Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tentara Bani Umayah di bawah komando Panglima Abdulrahman bin Abdullah Al-Ghafiqi, bergerak dari Spanyol menuju Perancis. Setelah melalui pegunungan Piranee, mereka menguasai Bordeau, Poitiers dan hendak maju ke kota Tours. Di tempat ini terjadi pertempuran yang menewaskan Al-Ghafiqi. Tentara itu pun mundur kendali ke Spanyol.
Dengan rentang wilayah kekuasaan yang sangat luas, di abad ke-8 Masehi tersebut, Bani Umayah merupakan kekuasaan yang paling besar di dunia. Kekuasaan besar lainnya adalah Dinasti Tang di wilayah Cina serta Romawi yang berpusat di Konstantinopel. Ke wilayah kekuasaan Bani Umayah itulah Islam kemudian menyebar dengan cepat.
Namun adalah sebuah kemustahilan untuk mempertahankan wilayah yang begitu luas terus-menerus. Apalagi masyarakat kemudian kehilangan rasa hormatnya pada kekhalifahan. Pemberontakan muncul di sana-sini. Yang terkuat adalah pemberontakan oleh Abdullah Asy-Syafah, atau Abu Abbas. Ia keturunan Abbas bin Abdul Muthalib -paman Rasulullah. Ia disokong oleh keluarga Hasyim -keluarga yang terus berseteru dengan Keluarga Umayah. Kalangan Syi'ah -para pendukung fanatik Ali-mendukung pula gerakan ini.
Abu Abbas kemudian bersekutu dengan tokoh kuat, Abu Muslim dari Khurasan. Pada tahun 750 Masehi, mereka berhasil menjatuhkan kekuasaan Bani Umayah. Khalifah terakhir, Marwan bin Muhammad, lari ke Mesir namun tertangkap dan dibunuh di sana. Berakhirlah kekuasaan Bani Umayah ini, meskipun keturunannya kemudian berhasil membangun Bani Umayah kedua di wilayah Spanyol.
Khalifah Abu Bakar
Muhammad wafat tanpa meninggalkan pesan siapa yang harus menggantikannya sebagai pemimpin umat.. Beberapa kerabat Rasul berpendapat bahwa Ali bin Abu Thalib -misan dan menantu yang dipelihara Muhammad sejak kecil-yang paling berhak. Namun sebagian kaum Anshar, warga asli Madinah, berkumpul di Balai Pertemuan (Saqifa) Bani Saudah. Mereka hendak mengangkat Saad bin Ubadah sebagai pemimpin umat.
Ketegangan terjadi. Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah datang untuk mengingatkan mereka. Perdebatan terjadi, sampai dua tokoh Muhajirin dan Anshar -Abu Ubaidah dan Basyir anak Saad-membaiat Abu Bakar. Umar menyusul membaiat. Demikian pula yang lainnya. Pertikaian selesai. Selasa malam menjelang salat Isya -setelah Muhammmad dimakamkan-Abu Bakar naik ke mimbar di masjid Nabawi. Ia mengucapkan pidato pertamanya sebagai khalifah. Pidato yang ringkas dan dan berkesan di kalangan umat. Itu terjadi pada Juni 632, atau 11 Hijriah.
Abu Bakar adalah orang pertama di luar kerabat Rasul yang memeluk Islam. Ia dikenal sebagai orang yang selalu membenarkan ucapan Muhammad. Ketika orang-orang menghujat Muhammad karena mengatakan baru mengalami Isra' Mi'raj, Abu Bakar menyatakan keyakinannya terhadap peristiwa itu. Ia menyiapkan perjalanan serta mengawani Muhammad saat hijrah ke Madinah. Ia juga menikahkan putrinya, Aisyah, dengan Rasul.
Namun tak berarti kepemimpinan Abu Bakar mulus. Meninggalnya Muhammad menimbulkan pembelotan besar-besaran dari berbagai kabilah yang baru masuk Islam. Mereka tidak lagi patuh pada pemerintahan di Madinah. Beberapa orang malah menyatakan diri sebagai Nabi. Aswad Al-Insa di Yaman yang menyatakan diri sebagai Nabi dan membolehkan orang tidak salat dan berzina, telah dibunuh oleh orang dekatnya saat Rasulullah sakit. Sekarang ada Tulaihah dan Musailama yang berbuat serupa.
Di Madinah pun, Abu Bakar berselisih pendapat dengan Fatimah, putri Muhammad, mengenai cara pengelolaan uang negara. Keluarga Rasul -termasuk Ali bin Abu Thalib-baru mengakui kepemimpinan Abu Bakar enam bulan kemudian, setelah Fatimah wafat.
Tugas pertama yang dilakukan Abu Bakar adalah melaksanakan amanat Rasul: memberangkatkan pasukan Usama bin Zaid ke arah Palestina dan Syam. Ia sendiri -dalam usia 61 tahun-- kemudian memimpin tentara menggempur Tulaiha. Operasi militernya sukses. Setelah itu, Abu Bakar membentuk 11 regu untuk menaklukkan kabilah-kabilah yang menolak membayar zakat. Yakni dari Tihama di Laut Merah, Hadramaut di ujung Lautan Hindia, sampai ke Oman, Bahrain, Yamama hingga Kuwait di Teluk Persia.
Pertempuran paling sengit terjadi melawan pasukan Musailama yang memiliki 40 ribu pasukan. Tentara dari Madinah sempat hancur. Berkat kecerdikan panglima Khalid bin Walid, mereka memukul balik lawan. Seorang tentara Khalid, Al-Barak, berhasil melompati benteng Al-Hadikat dan membuka pintu dari dari dalam. Musailama tewas.
Pasukan Khalid kemudian bergerak ke Utara, menuju lembah Irak yang saat itu dikuasai kerajaan besar Persia. Pada 8 Hijriah, Raja Persia Kisra merobek-robek surat yang dikirimkan Muhammad. Rasul lalu menyebut Allah akan merobek-robek kerajaan Persia pula. Saat itu tiba melalui tangan Khalid bin Walid yang hanya membawa sedikit pasukan. Dalam perang di Allais tercatat 70 ribu orang tewas. Setelah itu Kerajaan Hira pun ditaklukkan. Jadilah seluruh wilayah Irak sekarang masuk dalam wilayah kekhalifahan Abu Bakar.
Setelah itu, Khalifah Abu Bakar mengirim 24.000 pasukan ke arah Syria, di bawah komando empat panglima perang. Mereka bersiap menghadapi 240.000 pasukan Romawi -kekuatan terbesar di dunia pada masa itu-yang diperintah Heraklius. Abu Bakar menetapkan Yarmuk sebagai pangkalan mereka. Ia juga memerintahkan Khalid bin Walid -yang berada di wilayah Irak-untuk pergi ke Yarmuk dan menjadi Panglima Besar di situ. Sebanyak 9000 pasukan dibawanya.
Abu Bakar mencatat banyak keberhasilan. Di jazirah Arab, ia telah berhasil menyatukan kembali umat Islam yang pecah setelah rasul wafat. Di masanya pula, Islam mulai menyebar ke luar jazirah Arab. Meskipun demikian, ia tetap dikenal sebagai seorang yang sederhana. Ia hidup sebagaimana rakyat. Tetap pergi sendiri ke pasar untuk berbelanja, serta tetap menjadi imam salat di masjid Nabawi.
Selama dua tahun tiga bulan memimpin umat, ia hanya mengeluarkan 8.000 dirham uang negara untuk kepentingan keluarganya. Jumlah yang sangat sedikit untuk ukuran waktu itu sekalipun. Ia juga memerintahkan pengumpulan catatan ayat-ayat Quran dari para sekretaris Rasul. Catatan-catatan itu dikumpulkan di rumah Hafsha, putri Umar. Abu Bakar meninggal dalam usia yang hampir sama dengan Rasul, 63 tahun.
Khalifah Umar bin Khathab
(23-33 Hijriah/634-644 Masehi)
Pada hari-hari terakhir hidupnya, Khalifah Abu Bakar sibuk bertanya pada banyak orang. "Bagaimana pendapatmu tentang Umar?" Hampir semua orang menyebut Umar adalah seorang yang keras, namun jiwanya sangat baik. Setelah itu, Abu Bakar minta Usman bin Affan untuk menuliskan wasiat bahwa penggantinya kelak adalah Umar. Tampaknya Abu Bakar khawatir jika umat Islam akan berselisih pendapat bila ia tak menuliskan wasiat itu.
Pada tahun 13 Hijriah atau 634 Masehi, Abu Bakar wafat dan Umar menjadi khalifah. Jika orang-orang menyebut Abu Bakar sebagai "Khalifatur- Rasul", kini mereka memanggil Umar "Amirul Mukminin" (Pemimpin orang mukmin). Umar masuk Islam sekitar tahun 6 Hijriah. Saat itu, ia berniat membunuh Muhammad namun tersentuh hati ketika mendengar adiknya, Fatimah, melantunkan ayat Quran.
Selama di Madinah, Umarlah --bersama Hamzah-yang paling ditakuti orang-orang Qurais. Keduanya selalu siap berkelahi jika Rasul dihina. Saat hijrah, ia juga satu-satunya sahabat Rasul yang pergi secara terang-terangan. Ia menantang siapapun agar menyusulnya bila ingin "ibunya meratapi, istrinya jadi janda, dan anaknya menangis kehilangan."
Kini ia harus tampil menjadi pemimpin semua. Saat itu, pasukan Islam tengah bertempur sengit di Yarmuk -wilayah perbatasan dengan Syria. Umar tidak memberitakan kepada pasukannya bahwa Abu Bakar telah wafat dan ia yang sekarang menjadi khalifah. Ia tidak ingin mengganggu konsentrasi pasukan yang tengah melawan kerajaan Romawi itu.
Di Yarmuk, keputusan Abu Bakar untuk mengambil markas di tempat itu dan kecerdikan serta keberanian Khalid bin Walid membawa hasil. Muslim bermarkas di bukit-bukit yang menjadi benteng alam, sedangkan Romawi terpaksa menempati lembah di hadapannya. Puluhan ribu pasukan Romawi -baik yang pasukan Arab Syria maupun yang didatangkan dari Yunani-tewas. Lalu terjadilah pertistiwa mengesankan itu.
Panglima Romawi, Gregorius Theodore -orang-orang Arab menyebutnya "Jirri Tudur"-- ingin menghindari jatuhnya banyak korban. Ia menantang Khalid untuk berduel. Dalam pertempuran dua orang itu, tombak Gregorius patah terkena sabetan pedang Khalid. Ia ganti mengambil pedang besar. Ketika berancang-ancang perang lagi, Gregorius bertanya pada Khalid tentang motivasinya berperang serta tentang Islam.
Mendengar jawaban Khalid, di hadapan ratusan ribu pasukan Romawi dan Muslim, Gregorius menyatakan diri masuk Islam. Ia lalu belajar Islam sekilas, sempat menunaikan salat dua rakaat, lalu bertempur di samping Khalid. Gregorius syahid di tangan bekas pasukannya sendiri. Namun pasukan Islam mencatat kemenangan besar di Yarmuk, meskipun sejumlah sahabat meninggal di sana. Di antaranya adalah Juwariah, putri Abu Sofyan.
Umar kemudian memecat Khalid, dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai Panglima Besar pengganti. Umar khawatir, umat Islam akan sangat mendewakan Khalid. Hal demikian bertentangan prinsip Islam. Khalid ikhlas menerima keputusan itu. "saya berjihad bukan karena Umar," katanya. Ia terus membantu Abu Ubaidah di medan tempur. Kota Damaskus berhasil dikuasai. Dengan menggunakan "tangga manusia", pasukan Khalid berhasil menembus benteng Aleppo. Kaisar Heraklius dengan sedih terpaksa mundur ke Konstantinopel, meninggalkan seluruh wilayah Syria yang telah lima abad dikuasai Romawi.
Penguasa Yerusalem juga menyerah. Namun mereka hanya akan menyerahkan kota itu pada pemimpin tertinggi Islam. Maka Umar pun berangkat ke Yerusalem. Ia menolak dikawal pasukan. Jadilah pemandangan ganjil itu. Pemuka Yerusalem menyambut dengan upacara kebesaran. Pasukan Islam juga tampil mentereng. Setelah menaklukkan Syria, mereka kini hidup makmur. Lalu Umar dengan bajunya yang sangat sederhana datang menunggang unta merah. Ia hanya disertai seorang pembantu. Mereka membawa sendiri kantung makanan serta air.
Kesederhanaan Umar itu mengundang simpati orang-orang non Muslim. Apalagi kaum Gereja Syria dan Gereja Kopti-Mesir memang mengharap kedatangan Islam. Semasa kekuasaan Romawi mereka tertindas, karena yang diakui kerajaan hanya Gereja Yunani. Maka, Islam segera menyebar dengan cepat ke arah Memphis (Kairo), Iskandaria hingga Tripoli, di bawah komando Amr bin Ash dan Zubair, menantu Abu Bakar.
Ke wilayah Timur, pasukan Saad bin Abu Waqas juga merebut Ctesiphon -pusat kerajaan Persia, pada 637 Masehi. Tiga putri raja dibawa ke Madinah, dan dinikahkan dengan Muhammad anak Abu Bakar, Abdullah anak Umar, serta Hussein anak Ali. Hussein dan istrinya itu melahirkan Zainal Ali Abidin -Imam besar Syiah. Dengan demikian, Zainal mewarisi darah Nabi Muhammad, Ismail dan Ibrahim dari ayah, serta darah raja-raja Persia dari ibu. Itu yang menjelaskan mengapa warga Iran menganut aliran Syi'ah. Dari Persia, Islam kemudian menyebar ke wilayah Asia Tengah, mulai Turkmenistan, Azerbaijan bahkan ke timur ke wilayah Afghanistan sekarang.
Umar wafat pada tahun 23 Hijriah atau 644 Masehi. Saat salat subuh, seorang asal Parsi Firuz menikamnya dan mengamuk di masjid dengan pisau beracun. Enam orang lainnya tewas, sebelum Firus sendiri juga tewas. Banyak dugaan mengenai alasan pembunuhan tersebut. Yang pasti, ini adalah pembunuhan pertama seorng muslim oleh muslim lainnya.
Umar bukan saja seorang yang sederhana, tapi juga seorang yang berani berijtihad. Yakni melakukan hal-hal yang tak dilakukan Rasul. Untuk pemerintah, ia membentuk departemen-departemen. Ia tidak lagi membagikan harta pamoasan perang buat pasukannya, melainkan menetapkan gaji buat mereka. Umar memulai penanggalan Hijriah, dan melanjutkan pengumpulan catatan ayat Quran yang dirintis Abu Bakar. Ia juga memerintahkan salat tarawih berjamaah.
Menurut riwayat, suatu waktu Ali terpesona melihat lampu-lampu masjid menyala pada malam hari di bulan Ramadhan. "Ya Allah, sinarilah makam Umar sebagaim9ana masjid-masjid kami terang benderang karenanya," kata Ali.
Khalifah Utsman bin Affan
(33-45 Hijriah/644-656 Masehi)
Menjelang wafat, Umar bin Khattab berpesan. Selama tiga hari, imam masjid hendaknya diserahkan pada Suhaib Al-Rumi. Namun pada hari keempat hendaknya telah dipilih seorang pemimpin penggantinya. Umar memberikan enam nama. Mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auff dan Thalhah anak Ubaidillah.
Keenam orang itu berkumpul. Abdurrahman bin Auff memulai pembicaraan dengan mengatakan siapa dia antara mereka yang bersedia mengundurkan diri. Ia lalu menyatakan dirinya mundur dari pencalonan. Tiga orang lainnya menyusul. Tinggallah Utsman dan Ali. Abdurrahman ditunjuk menjadi penentu. Ia lalu menemui banyak orang meminta pendapat mereka. Namun pendapat masyarakat pun terbelah.
Imar anak Yasir mengusulkan Ali. Begitu pula Mikdad. Sedangkan Abdullah anak Abu Sarah berkampanye keras buat Utsman. Abdullah dulu masuk Islam, lalu balik menjadi kafir kembali sehingga dijatuhi hukuman mati oleh Rasul. Atas jaminan Utsman hukuman tersebut tidak dilaksanakan. Abdullah dan Utsman adalah "saudara susu".
Konon, sebagian besar warga memang cenderung memilih Utsman. Saat itu, kehidupan ekonomi Madinah sangat baik. Perilaku masyarakat pun bergeser. Mereka mulai enggan pada tokoh yang kesehariannya sangat sederhana dan tegas seperti Abu Bakar atau Umar. Ali mempunyai kepribadian yang serupa itu. Sedangkan Ustman adalah seorang yang sangat kaya dan pemurah.
Abdurrahman -yang juga sangat kaya-- pun memutuskan Ustman sebagai khalifah. Ali sempat protes. Abdurrahman adalah ipar Ustman. Mereka sama-sama keluarga Umayah. Sedangkan Ali, sebagaimana Muhammad, adalah keluarga Hasyim. Sejak lama kedua keluarga itu bersaing. Namun Abdurrahman meyakinkan Ali bahwa keputusannya adalah murni dari nurani. Ali kemudian menerima keputusan itu.
Maka jadilah Ustman khalifah tertua. Pada saat diangkat, ia telah berusia 70 tahun. Ia lahir di Thalif pada 576 Masehi atau enam tahun lebih muda ketimbang Muhammad. Atas ajakan Abu Bakar, Ustman masuk Islam. Rasulullah sangat menyayangi Ustman sehingga ia dinikahkan dengan Ruqaya, putri Muhammad. Setelah Ruqayah meninggal, Muhammad menikahkan kembali Ustman dengan putri lainnya, Ummu Khulthum.
Masyarakat mengenal Ustman sebagai dermawan. Dalam ekspedisi Tabuk yang dipimpin oleh Rasul, Ustman menyerahkan 950 ekor unta, 50 kuda dan uang tunai 1000 dinar. Artinya, sepertiga dari biaya ekspedisi itu ia tanggung seorang diri. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Ustman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering itu.
Di masanya, kekuatan Islam melebarkan ekspansi. Untuk pertama kalinya, Islam mempunyai armada laut yang tangguh. Muawiyah bin Abu Sofyan yang menguasai wilayah Syria, Palestina dan Libanon membangun armada itu. Sekitar 1.700 kapal dipakainya untuk mengembangkan wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah. Siprus, Pulau Rodhes digempur. Konstantinopel pun sempat dikepung.
Namun, Ustman mempunyai kekurangan yang serius. Ia terlalu banyak mengangkat keluarganya menjadi pejabat pemerintah. Posisi-posisi penting diserahkannya pada keluarga Umayah. Yang paling kontroversial adalah pengangkatan Marwan bin Hakam sebagai sekretaris negara. Banyak yang curiga, Marwan-lah yang sebenarnya memegang kendali kekuasaan di masa Ustman.
Di masa itu, posisi Muawiyah anak Abu Sofyan mulai menjulang menyingkirkan nama besar seperti Khalid bin Walid. Amr bin Ash yang sukses menjadi Gubernur Mesir, diberhentikan diganti dengan Abdullah bin Abu Sarah -keluarga yang paling aktif berkampanye untuk Ustman dulu. Usman minta bantuan Amr kembali begitu Abdullah menghadapi kesulitan. Setelah itu, ia mencopot lagi Amr dan memberikan kembali kursi pada Abdullah.
Sebagai Gubernur Irak, Azerbaijan dan Armenia, Ustman mengangkat saudaranya seibu, Walid bin Ukbah menggantikan tokoh besar Saad bin Abi Waqas. Namun Walid tak mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Ketidakpuasan menjalar ke seluruh masyarakat. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Abdullah bin Sabak. Dulu ia seorang Yahudi, dan kini menjadi seorang muslim yang santun dan saleh. Ia memperoleh simpati dari banyak orang.
Abdullah berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi pengganti Muhammd adalah Ali. Ia juga menyebut bakal adanya Imam Mahdi yang akan muncul menyelamatkan umat di masa mendatang -sebuah konsep mirip kebangkitan Nabi Isa yang dianut orang-orang Nasrani. Segera konsep itu diterima masyarakat di wilayah bekas kekuasaan Persia, di Iran dan Irak. Pengaruh Abdullah bin Sabak meluas. Ustman gagal mengatasi masalah ini secara bijak. Abdullah bin Sabak diusir ke Mesir. Abu Dzar Al-Ghiffari, tokoh yang sangat saleh dan dekat dengan Abdullah, diasingkan di luar kota Madinah sampai meninggal.
Beberapa tokoh mendesak Ustman untuk mundur. Namun Ustman menolak. Ali mengingatkan Ustman untuk kembali ke garis Abu Bakar dan Umar. Ustman merasa tidak ada yang keliru dalam langkahnya. Malah Marwan berdiri dan berseru siap mempertahankan kekhalifahan itu dengan pedang. Situasai tambah panas. Pada bulan Zulkaedah 35 Hijriah atau 656 Masehi, 500 pasukan dari Mesir, 500 pasukan dari Basrah dan 500 pasukan dari Kufah bergerak. Mereka berdalih hendak menunaikan ibadah haji, namun ternyata mengepung Madinah.
Ketiganya bersatu mendesak Ustman yang ketika itu telah berusia 82 tahun untuk mundur. Dari Mesir mencalonkan Ali, dari Basrah mendukung Thalhah dan dari Kufah memilih Zubair untuk menjadi khalifah pengganti. Ketiganya menolak, dan malah melindungi Ustman dan membujuk para prajurit tersebut untuk pulang. Namun mereka menolak dan malah mengepung Madinah selama 40 hari. Suatu malam mereka malah masuk untuk menguasai Madinah. Ustman yang berkhutbah mengecam tindakan mereka, dilempari hingga pingsan.
Ustman membujuk Ali agar meyakinkan para pemberontak. Ali melakukannya asal Ustman tak lagi menuruti kata-kata Marwan. Ustman bersedia. Atas saran Ali, para pemberontak itu pulang. Namun tiba-tiba Ustman, atas saran Marwan, menjabut janjinya itu. Massa marah.Pemberontak balik ke Madinah. M
Muhammad anak Abu Bakar siap mengayunkan pedang. Namun tak jadi melakukannya setelah ditegur Ustman. Al Ghafiki menghantamkan besi ke kepala Ustman, sebelum Sudan anak Hamran menusukkan pedang. Pada tanggal 8 Zulhijah 35 Hijriah, Ustman menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk Quran yang dibacanya. Sejak itu, kekuasaan Islam semakin sering diwarnai oleh tetesan darah.
Ustman juga membuat langkah penting bagi umat. Ia memperlebar bangunan Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Haram di Mekah. Ia juga menyelesaikan pengumpulan naskah Quran yang telah dirintis oleh kedua pendahulunya. Ia menunjuk empat pencatat Quran, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits, untuk memimpin sekelompok juru tulis. Kertas didatangkan dari Mesir dan Syria. Tujuh Quran ditulisnya, Masing-masing dikirim ke Mekah, Damaskus, San'a, Bahrain, Basrah, Kufah dan Madinah.
Di masa Ustman, ekspedisi damai ke Tiongkok dilakukan. Saad bin Abi Waqqas bertemu dengan Kaisar Chiu Tang Su dan sempat bermukim di Kanton.
Khalifah Ali bin Abu Thalib
(35-41 Hijriah/655-661 Masehi)
Utsman bin Affan wafat. Warga Madinah dan tiga pasukan dari Mesir, Basrah dan Kaufah bersepakat memilih Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah baru. Menurut riwayat, Ali sempat menolak penunjukan itu . Namun semua mendesak untuk memimpin umat. Pembaitan Ali pun berlangsung di masjid Nabawi.
Ali adalah salah seorang sahabat paling dekat dengan Rasul. Sewaktu kecil, Muhammad diasuh oleh Abu Thalib -pamannya yang juga ayah Ali. Setelah berumah tangga dan melihat Abu Thalib hidup kekurangan, Muhammad memelihara Ali di rumahnya. Ali dan Zaid bin Haritsah -anak angkat Muhammad-adalah orang pertama yang memeluk Islam, setelah Khadijah. Mereka selalu salat berjamaah.
Kecerdasan dan keberanian Ali sangat menonjol di lingkungan Qurais. Saat anak-anak, ia telah menantang tokoh-tokoh Qurais yang mencemooh Muhammad. Ketika Muhammad hijrah dan kaum Qurais telah menghunus pedang untuk membunuhnya, Ali tidur di tempat tidur Muhammad serta mengenakan mantel yang dipakai Rasul itu.
Di medan perang, dia adalah petempur yang sangat disegani. Baik di perang Badar, Uhud hingga Khandaq. Namanya semakin sering dipuji setelah ia berhasil menjebol gerbang benteng Khaibar yang menjadi pertahanan terakhir Yahudi. Menjelang Rasul menunaikan ibadah haji, Ali ditugasi untuk melaksanakan misi militer ke Yaman dan dilakukannya dengan baik.
Mengenai kecerdasannya, Muhammad pernah memuji Ali dengan kata-kata: "Saya adalah ibukota ilmu dan Ali adalah gerbangnya." Kefasihan bicara Ali dipuji oleh banyak kalangan. Rasul kemudian menikahkan Ali dengan putri bungsunya, Fatimah. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah dengan Asmak -janda yang dua kali ditinggal mati suaminya, yakni Ja'far (saudara Ali) dan khalifah Abu Bakar.
Sebagai khalifah ia mewarisi pemerintahan yang sangat kacau. Juga ketegangan politik akibat pembunuhan Utsman. Keluarga Umayah menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20 gubernur yang ada, hanya Gubernur Irak -Abu Musa Al-Asyari-yang bukan keluarga Umayah. Mereka menuntut Ali untuk mengadili pembunuh Utsman. Tuntutan demikian juga banyak diajukan tokoh netral seperti janda Rasulullah -Aisyah, juga Zubair dan Thalhah -dua orang pertama yang masuk Islam seperti Ali.
Beberapa orang menuding Ali terlalu dekat dengan para pembunuh itu. Ali menyebut pengadilan sulit dilaksanakan sebelum situasi politik reda. Ia bermaksud menyatukan negara lebih dahulu. Untuk itu, ia mendesak Muawiyah bin Abu Sofyan -Gubernur Syam yang juga pimpinan keluarga Umayah-untuk segera berbaiat kepadanya.
Muawiyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Ustman dihukum. Ali siap menggempur Muawiyah. Sejumlah sahabat penting seperti Mughairah, Saad bin Abi Waqas, Abdullah anak Umar menyarankan Ali menunda serangan itu. Begitu juga sepupu Ali, Ibnu Abbas. Tapi Ali berkeras, sehingga Ibnu Abbas mengeritiknya: "Anda ini benar-benar panglima perang, bukan negarawan."
Ali segera menyusun pasukan. Ia berangkat ke Kufah, wilayah yang masyarakatnya mendukung Ali. Ia tinggalkan ibukota Madinah sepenuhnya, bahkan seterusnya, untuk langsung memimpin perang. Hal yang tak lazim dilakukan para pemimpin negara. Setahun sudah berlalu, pembunuh Ustman belum ditindak.
Langkah ini makin mengundang kritik dari kelompok Aisyah. Aisyah, Thalhah dan Zubair lalu memimpin 30 ribu pasukan dari Mekah. Pasukan Ali -yang semula diarahkan ke Syam- terpaksa dibelokkan untuk menghadapi Aisyah. Terjadilah peristiwa menyedihkan itu: perang antar Muslim.
Aisyah memimpin pasukannya dalam tandu tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga mengendarai unta. Maka perang itu disebut Perang Unta. Sekitar 10 ribu orang tewas dalam perang sesama Muslim ini. Aisyah tertawan setelah tandunya penuh anak panah. Zubair tewas dibunuh di waha Al-Sibak. Thalhah terluka di kaki dan meninggal di Basra.
Kesempatan pun dimanfaatkan oleh Muawiyah. Ia menggantungkan jubah Ustman yang berlumur darah, serta potongan jari istri Ustman, di masjid Damaskus untuk menyudutkan Ali. Pihaknya bahkan menuding Ali sebagai otak pembunuhan Ustman. Muawiyah berhasil menarik Amru bin Ash ke pihaknya.
Amru seorang politisi ulung yang sangat disegani. Ia diiming-imingi menjadi Gubernur Mesir. Abdullah, anak Amru yang saleh, menyarankan ayahnya untuk menolak ajakan Muawiyah. Namun Muhammad -anaknya yang suka politik-menyarankan Amru mengambil kesempatan. Amru tergoda. Ia mendukung Muawiyah untuk menjadi khalifah tandingan.
Kedua pihak bertempur di Shiffin, hulu Sungai Eufrat di perbatasan Irak-Syria. Puluhan ribu Muslim tewas. Di pihak Ali, korban sebanyak 35 ribu di pihak Muawiyah 45 ribu. Dalam keadaan terdesak, pihak Muawiyah bersiasat. Atas usulkan Amru, mereka mengikat Quran di ujung tombak dan mengajak untuk "berhukum pada Quran."
Pihak Ali terbelah. Sebagian berpendapat, seruan itu harus dihormati. Yang lain menyebut itu hanya cara Muawiyah untuk menipu menghindari kalah. Ali mengalah. Kedua pihak berunding. Amru bin Ash di pihak Muawiyah, Abu Musa -yang dikenal sebagai seorang saleh dan tak suka politik- di pihak Ali. Keduanya sepakat untuk "menurunkan" Ali dan Muawiyah. Namun Amru kembali mengingkari kesepakatannya.
Situasi yang tak menentu itu membuat marah Hurkus -komandan pasukan Ali yang berasal dari keluarga Tamim. Hurkus adalah seorang yang lurus dan keras. Caranya memandang masalah selalu "hitam putih". Karena cara berpikirnya yang sempit, ia pernah menggugat Rasulullah. Sekarang ia menganggap Muawiyah maupun Ali melanggar hukum Allah. "Laa hukma illallah (tiada hukum selain Allah)," serunya. Pelanggar hukum Allah boleh dibunuh, demikian pendapatnya.
Kelompok Hurkus segera menguat. Orang-orang menyebut kelompok radikal ini sebagai "khawarij" (barisan yang keluar). Mereka menyerang dan bahkan membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Pembunuhan berlangsung di beberapa tempat. Mereka berpikir, negara baru akan dapat ditegakkan jika tiga orang yang dianggap penyebab masalah, yakni Ali, Muawiyah dan Amru dibunuh.
Hujaj bertugas membunuh Muwawiyah di Damaskus, Amru bin Abu Bakar membunuh Ambru bin Ash di Mesir dan Abdurrahman membunuh Ali di Kufah. Muawiyah yang kini hidup dengan pengawalan ketat bagai raja hanya terluka. Amru bin Abu Bakar salah bunuh orang imam yang menggantikan Amru bin Ash. Di Kaufah, Ali tengah berangkat ke masjid ketika diserang dengan pedang. Dua hari kemudian ia wafat. Peristiwa itu terjadi pada Ramadhan 40 Hijriah atau 661 Masehi.
Berakhirlah model kepemimpinan Islam untuk negara yang dicontohkan Rasulullah. Muawiyah lalu menggunakan model "kerajaan" pemerintahan negara Islam. Ibukota pun dipindah dari Madinah ke Damaskus.
Andalusia
(711-1492)
Bismillah. Tekad itu dipancangkan Thariq bin Ziyad. Sebanyak 7.000 orang pasukan yang dipimpinnya -mereka suku Barbar dan Arab-telah selamat tiba di dataran Andalusia atau Spanyol. Mereka telah mengarungi selat yang memisahkan tanah Maroko di Afrika Utara dengan Eropa itu. Tanpa ragu sedikit pun Thariq memerintahkan untuk membakar kapal-kapalnya. Pilihannya jelas: terus maju untuk menang atau mati. Tak ada kata untuk mundur dan pulang.
Peristiwa di tahun 711 Masehi itu mengawali masa-masa Islam di Spanyol.Pasukan Thariq sebenarnya bukan misi pertama dari kalangan Islam yang menginjakkan kaki di Spanyol. Sebelumnya, Gubernur Musa Ibnu Nushair telah mengirimkan pasukan yang dikomandani Tharif bin Malik. Tharif sukses. Kesuksesan itu mendorong Musa mengirim Thariq. Saat itu, seluruh wilayah Islam masih menyatu di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Walid dari Bani Umayah.
Thariq mencatat sukses. Ia mengalahkan pasukan Raja Roderick di Bakkah. Setelah itu ia maju untuk merebut kota-kota seperti Cordova, Granada dan Toledo yang saat itu menjadi ibukota kerajaan Gothik. Ketika merebut Toledo, Thariq diperkuat dengan 5.000 orang tentara tambahan yang dikirim Musa.
Thariq sukses. Bukit-bukit di pantai tempat pendaratannya lalu dinamai Jabal Thariq, yang kemudian dikenal dengan sebutan Gibraltar. Musa bahkan ikut menyebarang untuk memimpin sendiri pasukannya. Ia merebut wilayah Seville dan mengalahkan Penguasa Gothic, Theodomir. Musa dan Thariq lalu bahu-membahu menguasai seluruh wilayah Spanyol selatan itu.
Pada 755 Masehi, Abdurrahman -keturunan Keluarga Umayah yang lolos dari kejaran penguasa Abbasiyah-tiba di Spanyol. Abdurrahman Ad-Dakhil, demikian orang-orang menjulukinya. Ia membangun Masjid Cordova, dan menjadi penguasa tunggal di Andalusia dengan gelar Emir. Keturunannya melanjutkan kekuasaan itu sampai 912 Masehi. Kalangan Kristen sempat mengobarkan perlawanan "untuk mencari kematian" (martyrdom). Namun Dinasti Umayah di Andalusia ini mampu mengatasi tantangan itu.
Abdurrahman Al-Aushat kemudian menjadikan Andalusia sebagai pusat ilmu terpenting di daratan Eropa. Pada 912, Abdurrahman An-Nasir mendengar kabar bahwa khalifah Abbasiyah di Baghdad tewas dibunuh. Ia lalu menggunakan gelar khalifah. Ia mendirikan universitas Cordova dengan perpustakaan berisi ratusan ribu buku.
Hal demikian dilanjutkan oleh Khalifah Hakam. Pusat-pusat studi dibanjiri ribuan pelajar, Islam dan Kristen, dari berbagai wilayah. Ladang-ladang pertanian Spanyol tumbuh dengan subur mengadopsi kebun-kebun dari wilayah Islam lainnya. Sistem hidraulik untuk pengairan dikenalkan. Andalusia inilah yang mendorong era pencerahan atau renaissance yang berkembang di Italia.
Kekacauan timbul setelah Hakam wafat dan kendali dipegang Manshur Billah -seorang ambisius yang menghabisi teman maupun lawan-lawannya. Kebencian masyarakat, baik Islam maupun Kristen mencuat. Situasi tak terkendalikan lagi setelah Manshur Billah wafat. Pada 1013, Dewan Menteri menghapuskan jabatan khalifah. Andalusia terpecah-pecah menjadi sekitar 30 negara kota.
Dua kekuatan dari Maghribi sempat menyatukan kembali seluruh wilayah itu. Pertama adalah Dinasti Murabithun (1086-1143) yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pasukan Murabithun datang buat membantu kalangan Islam melawan Kerajaan Castilla. Mereka memutuskan untuk menguasai Andalusia setelah melihat Islam terpecah-belah. Dinasti Muwahiddun, yang menggantikan kekuasaan Murabithun di Afrika Utara, kemudin juga melanjutkan kepemimpinan Islam di Andalusia (1146-1235). Di masa ini, hidup Ibnu Rusyd -seorang pemikir besar yang banyak menafsirkan naskah Aristoteles.
Pada 1238 Cordova jatuh ke tangan Kristen, lalu Seville pada 1248 dan akhirnya seluruh Spanyol. Hanya Granada yang bertahan di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1232-1492). Kepemimpinan Islam masih berlangsung sampai Abu Abdullah -meminta bantuan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella-- untuk merebut kekuasaan dari ayahnya. Abu Abdullah sempat naik tahta setelah ayahnya terbunuh. Namun Ferdinand dan Isabella kemudian menikah dan menyatukan kedua kerajaan. Mereka kemudian menggempur kekuatan Abu Abdullah untuk mengakhiri masa kepemimpinan Islam sama sekali.
Sejak itu, seluruh pemeluk Islam (juga Yahudi), dikejar-kejar untuk dihabisi sama sekali atau berpindah agama. Kekejian penguasa Kristen terhadap pemeluk Islam itu dibawa oleh pasukan Spanyol yang beberapa tahun kemudian menjelajah hingga Filipina. Kesultanan Islam di Manila mereka bumihanguskan, seluruh kerabat Sultan mereka bantai.
Memasuki Abad 16, Tanah Andalusia -yang selama 8 Abad dalam kekuasaan Islam-- kemudian bersih sama sekali dari keberadaan Muslim.
Selipan :
Kisah Perjalanan Sufi Ahmad Izzah
Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...InsyaALlah tempatmu di Syurga."
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya. Ia diperintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.
"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdeengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta Maaf dan masuk agama kami."
Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-Nya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.
Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
"Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.
Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mmungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sembari menggayuti abuyanya. Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...Abi...Abi..."
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih.
"Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
"Hai bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.
Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..." Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.
Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"
Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla Illaaha ilAllah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah...'. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, "Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya..." Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
Benarlah firman Allah... "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALlah, tetaplah atas fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)
'wassalaamu alaikum.
Kairo
(969-1517)
Islam menyentuh wilayah Mesir pada 628 Masehi. Ketika itu Rasulullah mengirim surat pada Gubernur Mukaukis -yang berada di bawah kekuasaan Romawi-mengajak masuk Islam. Rasul bahkan menikahi gadis Mesir, Maria.
Pada 639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan Keluarga Umayah, dan kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula.
Mesir baru menjadi pusat kekuasaan -dan juga peradaban Muslim-baru pada akhir Abad 10. Muiz Lidinillah membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, untuk membangun kekhalifahan sendiri yang berpaham Syi'ah. Ia menamai kekhalifahan itu Fathimiah -dari nama putri Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi'ah, Fatimah. Pada masa kekuasaannya (953-975), Muiz menugasi panglima perangnya, Jawhar al-Siqili, untuk membangun ibu kota .
Di dataran tepi Sungai Nil itu kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-Azhar (dari "Al-Zahra", nama panggilan Fatimah) yang dirampungkan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian bekembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di dunia saat ini.
Muiz dan para penggantinya, Aziz Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (996-1021) sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Peradaban berkembang pesat. Kecemerlangan kota Kairo -baik dalam fisik maupun kehidupn sosialnya-mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana di Baghdad.
Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat 1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu yang menjadi dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan ibn Haitham menemukan penjelasan fenomena "melihat". Sebelum itu, orang-orang meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata menuju obyek yang dilihat. Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya. Dari benda ke mata.
Gangguan politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.
Salahuddin tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya sama antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syiah menjadi Sunni. Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas sosial lainnya dibangun. Pada 1250 -delapan tahun sebelum Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu-kekuasaan diambil alih oleh kalangan keturunan Turki, pegawai Istana keturunan para budak (Mamluk).
Di Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh militer Turki, Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah, Syajarah. Turansyah dibunuh. Aybak dan Syajarah menikah. Namun Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian Musa, keturunan Ayyubiyah, yang sempat diangkatnya.
Di saat Aybak menyebar teror itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars mengasingkan diri ke Syria. Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan Ali -anak Aybak-mengundurkan diri untuk digantikan Qutuz. Qutuz dan Baibars bertempur bersama untuk menahan laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di Ain Jalut, Palestina, pada 13 September 1260 mereka berhasil mengalahkan pasukan Mongol itu. Baybars (1260-1277) yang dianggap menjadi peletak pondasi Dinasti Mamluk yang sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan Abbasiyah -yang telah dihancurkan Hulagu di Baghdad-untuk menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan universitas Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban dunia. Ibnu Batutah yang berkunjung ke Mesir sekitar 1326 tak henti mengagumi Kairo yang waktu itu berpenduduk sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding London di saat yang sama.
Ibnu Batutah tak hanya mengagumi 'rihlah', tempat studi keagamaan yang ada hampir di setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang sangat rapi dan "gratis". Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut: "mengenai dinasti-dinasti di zaman kita, yang paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir."
Pusat peradaban ini nyaris hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke Barat. Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan Mongol tersebut. Dengan demikian Mamluk merupakan pusat kekuasaan yang duakali mampu mengalahkan tentara Mongol.
Pada ujung abad 15, perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui Laut Tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat berdagang ke Asia. Pada 1498, mereka "menemukan" Tanjung Harapan di Afrika Selatan sebagai pintu perdagangan laut ke Asia. Pada 1517, Kesultanan Usmani di Turki menyerbu Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan di Dinasti Mamluk tersebut.
Perang Salib
(1095- 1291)
Raja Inggris, Richard si Hati Singa, tengah menggigil demam di tendanya. Ambisinya untuk segera menghancurkan pasukan Islam harus ia tunda. Tentara harus ia istirahatkan. Kini ia menunggu kedatangan seorang tabib. Tabib itu ternyata adalah musuh besarnya, Salahuddin Al-Ayyubi, panglima besar pihak Islam yang dengan berani menyusup ke tenda lawan. Secara moral, Salahuddin telah memenangkan pertarungan.
Kisah tersebut sering dituturkan, dan menjadi salah satu cerita paling menarik dalam peristiwa Perang Salib. Peristiwa perang antar agama ini bermula dari sukses misi kecil militer Alp Arselan -pemimpin Seljuk yang menjadi panglima perang Daulat Abbasiyah. Sekitar 15.000 tentaranya berhasil mengalahkan pasukan gabungan Romawi, Perancis, Armenia, Ghuz, Akraj, Hajr dalam pertempuran di Manzikart 464 Hijriah (1071 Masehi).
Tentara Baghdad, sepeninggal Arselan, malah merebut Yerusalem pada 471 Hijriah atau sekitar 1078 Masehi. Sebelum itu, Yerusalem dikuasai oleh Kekhalifahan Fathimiyah -dinasti beraliran Syi'ah yang berpusat di Kairo - Mesir. Fathimiyah memberi keleluaasan bagi orang-orang Nasrani untuk berkunjung ke kota suci Yerusalem. Abbasiyah di Baghdad membuat ketentuan baru yang mempersulit kunjungan tersebut.
Pada 1095 Masehi, pemimpin tertinggi Katolik Paus Urbanus II menyeru seluruh masyarakat Kristen di Eropa agar melakukan Perang Suci. Seruan tersebut segera disambut oleh para raja. Musim semi 1095 Masehi -demikian tulis Badri Yatim di "Sejarah Peradaban Islam"-150 ribu pasukan, terutama dari Perancis dan Norman, bergerak ke Konstantinopel dan kemudian Yerusalem.
Nicea dan Edessa berhasil mereka rebut pada 18 Juni 1097 dan 1098. Mereka kemudian merebut Antiokia. Baitul Maqdis atau Yerusalem bahkan jatuh pada 15 Juli 1099. Yerusalem bahkan dijadikan ibukota kerajaan baru. Godfrey diangkat sebagai raja. Kota-kota penting di pantai Laut Tengah seperti Tyre, Tripoli dan Akka juga berhasil dikuasai Pasukan Salib.
Hampir setengah abad wilayah Yerusalem dan laut Tengah itu penuh dalam kekuasaan Kristen. Namun, pada 1144, ketenangan itu terusik. Penguasa Mosul dan Irak, Imaduddin Zanki dan anaknya, Nuruddin Zanki merebut wilayah Aleppo dan Edessa. Pada 1151, seluruh kawasan di Edessa berhasil mereka kuasai. Ini mendorong Paus Eugenius III kembali menyerukan perang suci. Raja Perancis Louis III dan Raja Jerman Condrad III memimpin pasukan menggempur kekuatan Islam. Namun mereka kalah, dan terpaksa mundur.
Salahuddin Al-Ayyubi, panglima yang memegang kendali pasukan setelah Nuruddin wafat, malah mencatat sukses besar. Ia mendirikan kekhalifahan Ayyubiyah di Mesir menggantikan kekuasan Fathimiyah. Pada 1187, ia berhasil merebut Yerusalem dan mengakhiri kekuasaan kaum Nasrani di sana selama 88 tahun. Pasukannya juga harus berhadapan dengan kekuatan paling besar yang dikomandoi Raja Inggris Richard, Raja Perancis Philip Augustus serta Raja Jerman Frederick Barbarosa.
Pada 2 Nopember 1192, Salahuddin -tokoh terbesar Kurdi (bangsa yang sekarang terbelah di tanah yang menjadi wilayah Irak, Syria, Turki dan Iran)-menandatangani perjanjian dengan musuhnya. Ia akan memberi kemudahan kaum Nasrani berkunjung ke Yerusalem. Namun pihak Kristen, yang dikomandoi Raja Jerman Frederick II, kemudian mengincar kembali Yerusalem. Mereka berhasil merebut wilayah Dimyar, pada 1219. Pengganti Salahuddin, Malik al-Kamil, kemudian menukar Dimyar dengan Yerusalem.
Kalangan Nasrani sempat menguasai kembali Baitul Maqdis sekitar seperempat abad. Namun, angin kembali berubah. Di Mesir, kekuasaan kekhalifahan Ayyubiyah diakhiri oleh dinasti Mamluk. Malik al-Shalih, pemimpin Mamluk merebut kembali Baitul Maqdis, pada 1247. Setelah itu, perang Islam-Kristen masih terus terjadi sampai kota Akka direbut lagi pihak Islam pada 1291.
Perang Salib telah mengantarkan orang-orang Eropa dalam jumlah besar untuk berinteraksi dengan masyarakat Islam. Interaksi tersebut membuat mereka banyak mengadopsi peradaban dari kalangan muslim.'Bath-up' yang menjadi tempat mandi masyarakat Barat sekarang ini, kabarnya diadopsi dari bejana tempat berwudhu orng-orang Turki muslim. Namun Perang Salib juga melahirkan provokasi kebencian terhadap Islam di lingkungan masyarakat Barat.
Prahara Timur Lenk
(1336-1404)
Namanya Timur Lenk. Si Timur Pincang. Ia anak Taragai, Kepala Suku Barlas di wilayah Uzbekistan kini. Sang ayah kabarnya keturunan Karachar Noyan -menteri dan kerabat Jagatai, anak Jenghis Khan. Namun Timur Lenk sendiri sering disebut sebagai keturunan Jenghis Khan.
Secara resmi keturunan Mongol ini telah memeluk Islam. Diperkirakan ia lahir pada 25 Sya'ban 736 Hijriah, atau 8 April 1336 Masehi. Sejak kecil, keberaniannya nampak luar biasa. Pada usia 12 tahun, ia telah terlibat dalam sejumlah pertempuran. Ketika ayahnya wafat, Timur bergabung dengan pasukan Gubernur Tansoxiana, Amir Qaghazan, sampai gubernur itu meninggal.
Serbuan pasukan Tughluq Temur Khan melambungkan nama Timur Lenk. Ia bertempur sampai mengundang perhatian Tughluq. Ia direkrut Tughluq menjadi pasukannya, namun kemudian memberontak setelah Tugluq mengangkat anaknya, Ilyas Khoja sebagai Gubernur Samarkand dan hanya menjadikan Timur sebagai wazir.
Timur bergabung dengan Amir Husain -cucu Qaghazan. Tughulq dan Ilyas Khoja tewas dalam pertempuran. Kemudian Timur malah membunuh Amir Husain yang juga iparnya sendiri. Pada 10 April 1370, ia mengangkat dirinya sebagai penguasa tunggal. "Sebagaimana hanya ada satu Tuhan di alam ini, maka di bumi seharusnya hanya ada satu raja." Demikian semboyannya. Sejak itu, Timur menebar maut sebagaimana dilakukan Hulagu seabad sebelumnya.
Khurasan, Afghan, Persia , Kurdistan dikuasainya. Di Sabwazar, Afghanistan, ia membangun menara terbuat dari 2000 mayat dibalut dengan lumpur. Pada 1395, ia menyerbu Moskow. Lalu balik lagi ke Timur ke India -tempat ia konon membantai 80 ribu tawanannya. Kebiadaban terus ditebarkan. Pusat-pusat peradaban Islam dihancurkannya kecuali Samarkand. Di tempat ini, ia malah membangun kota dengan mendatangkan batu dari Delhi, India, dengan diangkut oleh gajah.
Di Aleppo, Syria, Timur Lenk membangun piramida dari sekitar 20 ribu kepala manusia. Di Baghdad, sebanyak itu pula penduduk yang dibantainya. Di Armenia, 4000 tentara musuh dikubur hidup-hidup. Sekolah dan masjid-masjid di sekitar Irak dihancurkan. Masjid Umayah di Damaskus dihancurkannya sehingga tinggal dinding. Tak terhitung lagi jumlah korban Timur Lenk.
Timur juga menggempur dua kesultanan penting. Yakni kesultanan Usmani di Turki serta Mamluk di Mesir. Dalam pertempuran melawan Timur Lenk, Usmani dipimpin sendiri oleh Sultan Bayazid I. Erthugul, anak Bayazid, tewas. Dalam pertempuran berikutnya, perang di Ankara 1404, Bayazid bahkan tertawan dan meninggal sebagai tawanan. Di Takrit -kota kelahiran Salahuddin Al-Ayyubi-Timur Lenk juga membangun piramida manusia.
Dinasti Mamluk di Mesir tak luput dari ancamannya. Apalagi Sultan Malik Zahir Barquq melindungi penguasa Baghdad yang melarikan diri, Sultan Ahmad Jalair. Namun, seperti menghadapi Hulagu sebelumnya, Mesir akhirnya luput dari serangan Timur. Serangan Timur Lenk benar-benar menghancurkan peradaban Islam. Praktis hanya Mesir yang selamat. Baghdad yang belum pulih akibat serangan Hulagu Khan dulu, kini remuk kembali.
Tak puas menjarah ke Barat, Timur Lenk kemudian mengincar Cina di timur. Padahal saat itu, ia telah berusia 71 tahun. Saat hendak melakukan invasi itu, Timur Lenk sakit dan meninggal pada 1404. Dua orang anaknya, Muhammad Jehanekir dan Khalil bertempur hebat memperebutkan kursi sang ayah. Khalil (1404-1404) menang, namun dikudeta oleh saudaranya yang lain, Syakh Rukh (1405-1447). Syakh Rukh dan anaknya, Ulugh Bey (1447-1449) memimpin negaranya dengan baik. Ilmu pengetahuan kembali berkembang. Namun tidak lama. Pada 1469, kekuasaan keluarga Timur Lenk itu ambruk.
Timur adalah salah seorang pemimpin paling brutal dalam sejarah. Sepak terjangnya menghancurkan masyarakat Islam habis-habisan. Namun, ironisnya, Timur Lenk adalah seorang muslim. Kabarnya, ia berpaham Syi'ah namun dekat dengan tarekat Naqsabandiyah. Dalam kehidupan sehari-hari, ia seperti menghormati para ulama. Dikabarkan ia dengan sangat hormat menerima sejarawan besar Ibnu Khaldun yang ditugasi Sultan Faraj untuk berunding.
Apapun, noda hitam telah terlalu banyak ditorehkan Timur Lenk. Terlalu banyak merah darah yang telah dibanjirkannya.
Serbuan Hulagu Khan
Baghdad 1258. Tepian sungai Tigris itu menampakkan pemandangan ganjil. Dari dataran sekelilingnya, kecemerlangan kota tampak jelas. Gedung-gedung megah bertaburan tertata secara rapi. Saat itu, hampir tidak ada kota di dunia segemerlap Baghdad. Namun ribuan tenda mendadak bermunculan di luar kota. Itulah tenda pemimpin Mongol, Hulagu Khan, beserta 200-an ribu pasukannya.
Sejarah mencatat, Khalifah Al-Mu'tashim dan para pembesar Kekhalifahan Abbasiyah dengan senang hati menemui Hulagu. Ia membawa berbagai macam hadiah. Hulagu menerima mereka dengan dingin. Ia memenggal kepala khalifah dan seluruh pengikutnya satu per satu. Hulagu kemudian memerintahkan pasukannya untuk meratakan Baghdad dengan tanah. Bukan hanya istana dan gedung-gedung kerajaan saja. Namun juga rumah penduduk, masjid, serta madrasah, universitas dan perpustakaan.
Kemegahan Baghdad habis tanpa bekas. Seluruh warga tewas dibantai, kecuali yang sempat lari menyelamatkan diri. Peristiwa ini merupakan salah satu penghancuran terbesar kebudayaan masyarakat Islam yang telah berkembang selama lebih 6 (enam) abad.
Hulagu tetap tinggal di tendanya. Ia sepenuhnya mewakili karakter masyarakatnya, bangsa Mongol, saat itu yang sangat sederhana namun brutal. Mulanya bangsa itu adalah kelompok-kelompok kecil pemburu dan penggembala di padang stepa di utara Cina hingga Siberia. Mereka mempercayai sebagai keturunan Alanja Khan yang mempunyai dua anak kembar, Tatar dan Mongol.
Adalah Yasugi Bahadur Khan yang diyakini sebagai pemersatu kelompok-kelompok Mongol. Setelah meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Temujin yang berusia 13 tahun. Pada 1206, Temujin mendapat gelar Jenghis Khan. Ia membangun pasukan laki-laki dan perempuan dalam kelompok 10, 200, serta 1.000 orang yang masing-masing dipimpin oleh seorang komandan.
Dengan pasukannya itu, ia menaklukkan Cina dan menguasai sepenuhnya Asia Tengah. Kota-kota indah seperti Samarkand, Bukhara dihancurkan sama sekali. Penduduk dibantai habis-habisan. Sultan Ala Al-Din mencoba menghadang gerak pasukan itu di Bukhara. Ia tewas dalam pertempuran. Jalal Al-Din, anaknya, terpaksa lari ke India.
Jenghis Khan mewariskan semangat berpetualang dan kebrutalan itu pada anak cucunya. Keempat anaknya, Juchi, Chagatai, Ogotai dan Tuli melanjutkan petualangan tersebut, menjarah wilayah-wilayah Islam. Salah seorang cucu Jenghis, kemudian malah membangun armada laut yang melakukan ekspedisi militer hingga wilayah Nusantara, sehingga melahirkan insiden Tarik - Jawa Timur, yang melahirkan kerajaan Majapahit.
Chagatai menguasai wilayah Ferghana hingga Azerbaijan. Saudaranya, Tuli menduduki Khurasan. Saat itu, kerajaan Islam terpecah belah dan tak mempunyai kekuatan berarti. Sangat mudah bagi pasukan Mongol -yang menghormat matahari terbit untuk menaklukkan mereka. Sebelum meninggal pada 1256, Tuli sudah menguasai sebagian wilayah Irak. Hulagu tinggal melanjutkannya untuk menaklukkan Baghdad.
Damaskus, Yordania, Nablus dan Gaza dengan mudah dikuasai pasukan Hulagu. Mereka mengincar Mesir yang dikuasai kesultanan Mamluk. Panglima Kitbugha mengirim utusan ke Mesir yang meminta Sultan Qutuz menyerah. Utusan Qitbhuga malah dibunuh. Di 'Ain Jalut, Sultan Qutuz bersama panglima Baybars memimpin sendiri pasukannya bertempur melawan pasukan Hulagu. Untuk pertama kalinya, pasukan Mongol dapat ditaklukkan.
Kekuasaan Mongol dilanjutkan oleh anak cucu Hulagu, yang dikenal dengan sebutan dinasti Ilkhan. Abaga, anak Hulagu, memeluk Kristen. Penggantinya, Ahmad Teguder (1282-1284) masuk Islam, namun dibunuh oleh Arghun, raja keempat yang bertindak kejam terhadap orang-orang Islam. Posisi umat Islam membaik di masa raja ke tujuh Ikhan, Mahmud Ghazan (1295-1304). Ia sempat menganut ajaran Budha sebelum beralih ke Islam.
Ghazan tertarik pada masalah peradaban. Ia membangun perguruan tinggi untuk mazhab Syafii serta Hanafi, observatorium, perpustakaan, bahkan juga padepokan atau semacam biara buat kaum sufi. Ia meninggal dalam usia 32 tahun, dan digantikan Muhammad Khudabanda Uljeitu (1304-1317), seorang penganut Syi'ah garis keras. Sultan terakhir dari Dinasti Ilkhan adalah Abu Sa'id (1317-1335). Kekuasaannya hancur setelah terjadi bencana kelaparan hebat akibat serangan badai dan hujan es. Kekuasaan pun terpecah belah, sampai kemudian dihancurkan oleh Timur Lenk, penakluk brutal lainnya yang juga keturunan Mongol.
Serbuan Jenghis Khan hingga Hulagu Khan benar-benar membuat masyarakat Islam harus membangun kehidupan baru dari tingkat yang paling dasar. Tidak ada lagi wujud peradaban yang tersisa dari wilayah Asia Tengah, Selatan hingga Timur Tengah. Syukurlah, Dinasti Mamluk mampu mempertahankan wiyah Mesir. Dari Mesirlah, kemudian peradaban Islam dibangun kembali.
SEJARAH ISLAM INDONESIA
Cirebon-Banten
(1500-an -1812)
Kalangan kesultanan di Cirebon meyakini, pendiri Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang. Ia kemudian digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan tersebut. Ayahnya ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja Pajajaran.
Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan erat dengan Demak. Jika di Demak posisi "raja" dan "ulama" terpisah, Sunan Gunung Jati adalah "raja" sekaligus "ulama". Ia mengenalkan Islam pada masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sunda Kelapa (kini Jakarta) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada 1527.
Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.
Setelah Raden Patah meninggal, begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka, kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan Sultan Trenggono. Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -nama yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.
Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya, Panembahan Ratu. Setelah itu, kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah itu Cirebon terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran Kartawijaya Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC. Posisi Cirebon tinggal sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di tangan VOC.
Sementara itu, Banten justru berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin meluaskan pengembangan Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di Banten tumbuh tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya, Maulana Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).
Pada masa itulah, kapal-kapal Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula para pedagang Cina. Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul Mufakir wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para pedagang Belanda.
Persoalan muncul setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang baru pulang berhaji, Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka berhubungan dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. Para pengikutnya kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di jawa Timur-dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.
Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi, sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana Surosowan dibakar habis pada 1812.
Pada tahun 1887, setelah meledak wabah penyakit anthrax tahun 1880 yang menewaskan 40.000 orang dan letusan Gunung Krakatau 23 Agustus 1883 yang menewaskan 21 ribu jiwa, Kiai Wasid dan para ulama memimpin pemberontakan heroik di Cilegon.
Demak-Mataram
Adalah Raden Patah yang menjadi perintis kerajaan Islam di Jawa. Ia disebut-sebut sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja) yang telah masuk Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang dikelola Sunan Ampel. Ibu Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim) juga putri penguasa Campa. (Lihat: "Walisongo").
Ketika Majapahit melemah dan terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dan membangun Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri. Berdirilah Kesultanan Demak pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu. Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Banyak penganut Hindu kemudian pindah ke Bali mendesak penduduk asli, atau mengasingkan diri ke Tengger.
Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Dia yang menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya adalah Dipati Unus menurut sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang "walisongo".
Dalam buku "Sejarah Ummat Islam Indonesia" yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia, Trenggono banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta) digempur. Berbagai wilayah lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan - Jawa Timur. Ia diganti adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh Adipati Jipang, Ario Penangsang.
Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya -menantu Trenggono-memindahkan kerajaan ke Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat dikalahkan. Senopati dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Mataram.
Senopati berkuasa dengan tangan besi. Legenda rakyat menyebut ia membunuh menantunya sendiri, Ki Mangir, dengan menghantamkan kepala korban ke batu. Ia digantikan anaknya, Pangeran Seda ing Krapyak yang meninggal pada 1613. Pemerintahan dilanjutkan oleh anak Seda ing Krapyak, Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung (1613-1645).
Model kepemimpinan Sultan Agung dianggap menjadi patron "kepemimpinan Soeharto". Dia memegang erat kekuasaan dengan gaya yang anggun. Wilayah demi wilayah ditaklukkannya untuk tunduk ke Mataram. Adipati Ukur di Sumedang diserangnya. Panembahan Kawis Gua -pelanjut Sunan Giri- berhasil dibekuk dan ditawan di Mataram. Blambangan digempur.
Kesultanan Cirebon diikatnya dengan perkawinan. Putri Sultan Agung menikah dengan Pangeran Cirebon. Adipati Surabaya yang memberontak dikalahkannya, lalu Pangeran Pekik, putra adipati itu diambilnya sebagai menantu.
Ia juga mengirim utusan ke Mekah, menggunakan kapal Inggris, untuk memperoleh gelar Sultan. Tahun 1641, gelar itu diperolehnya. Jadilah Mataram bukan hanya pusat kekuasaan namun juga pusat Islam di Jawa. Sultan Agung mengubah penanggalan Jawa dari Tahun Saka menjadi Tahun Hijriah. Ia juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis 'Babad Tanah Jawi'.
Setelah era Demak, Sultan Agung adalah satu-satunya kekuasaan yang berani menggempur asing. Pada 1618, VOC Belanda bertikai dengan Jepara yang berada di pihak Mataram. Pada 1628 dan 1629, Sultan Agung dua kali menyerang markas VOC di Batavia. Upayanya gagal setelah gudang persediaan makanannya dibakar Belanda.
Pada Februari 1646, Sultan Agung wafat. Ia dimakamkan di puncak bukit imogiri, komplek pemakaman yang dibangunnya pada 1631. (Soeharto juga membangun komplek pemakamannya sendiri). Ia digantikan anaknya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa inilah, Mataram hancur. Ia banyak mengumbar nafsu. Ribuan ulama dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai karena mereka bersimpati pada Pangeran Alit, paman Amangkurat yang tewas setelah berontak.
Sang anak, Amangkurat II, seorang ambisius. Ia ingin sesegera mungkin mendepak ayahnya. Ia mengundang kawannya seorang Madura, Trunojoyo, untuk memberontak. Trunojoyo menguasai kerajaan. Pada 1677 itu, di saat rakyat tertimpa musibah kelaparan hebat, Amangkurat I terlunta-lunta mengungsi hingga meninggal di daerah Tegal. Sejak Amangkurat I, kekuasaan di Jawa sepenuhnya dalam kendali pihak Belanda.
Amangkurat II kemudian berkoalisi dengan Belanda untuk menyingkirkan Trunojoyo. Bahkan Amangkurat II menikam sendiri perut sahabat dekatnya tersebut. Amangkurat II ini yang menurunkan Dinasti Pakubuwono di Solo dan Hamengkubuwono di Yogya. Dari Pakubuwono kemudian pecah Dinasti Mangkubumi. Sedangkan dari Hamengkubuwono lahir Dinasti Paku Alam.
Islam hanya tersisa sebagai simbol.
Pasai-Aceh
Catatan tertua tentang kerajaan wilayah ini berasal dari Cina. Yakni tentang kedatangan utusan dari negeri Lan Wo Li (Lamuri) dan Samutala (Samudera) Nama kedua utusan itu bercirikan muslim. Lamuri kini berlokasi di Aceh Besar, sedangkan Samudera berada di kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
Pada 1345, Ibnu Batuthah dari Maroko singgah di Samudera Pasai dalam perjalanan dari Delhi-India ke Cina. Ia menggambarkan jumlah penduduk kota sekitar 20 ribu jiwa. Di sana terdapat istana yang ramai dengan ratusan ilmuwan dan ulama. Pada masa itu, sultan adalah Ahmad Malik Ad-Dhahir (1326-1371). Ia mewarisi kekuasaan di sana dari Sultan Muhammad Malik ad-Dhahir (1297-1326).
Yang dianggap sebagai pembangun Dinasti Kerajaan Samudera Pasai adalah Merah Silu (1275-1297). Semula, ia adalah penyembah berhala. Kemudian Merah Silu masuk Islam dan menggunakan nama Malik Saleh. Beberapa nama sultan sempat tercatat. Antara lain Zainal Abidin Malik (1371-1405), lalu Sultan Hidayah Malik, juga Nahrisyah.
Bersamaan dengan itu, di ujung utara Aceh juga tumbuh menjadi satu pusat kekuasaan. Buku "Sejarah Umat Islam" terbitan MUI menyebut sembilan nama sultan yang dimulai dengan Johansyah (601 H. atau sekitar peralihan abad 12-13 Masehi), sebelum kemudian terjadi dua kerajaan kecil. Yakni raja Mudhafarsyah di Mahkota Alam dan Inayatsyah di Darul Kamal. Mudhafarsyah menang. Penggantinya, Ali Mughayatsyah menyatukan kedua kerajaan itu, dan menetapkan Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota.
Mughayatsyah pula yang menyatukan Kesultanan Pasai ke dalam kendalinya pada 1524. Pasai berakhir. Wilayah Deli bahkan dikuasai. Pada 1521, armada laut Aceh menghancurkan kekuatan Portugis pimpinan Jorge de Brito. Anak Mughasyatsyah, Salahuddin, pada 1537 menyerang Malaka namun gagal. Aceh dapat memulihkan kekuatannya di masa Sultan Alauddin Rihayatsyah yang digelari Al- Kahar (sang penakluk).
Musafir Portugis F. Mendez Pinto yang tinggal di Aceh 1539, menyebut pasukan Al-Kahar berasal dari berbagai bangsa. Ia memiliki batalyon tentara Turki. Al-Kahar dua kali menggempur Malaka, yakni 1547 dan 1568. Pasukannya bahkan mengalahkan Portugis (1562) dengan meriam yang dibelinya dari Turki. Masyarakat Aceh mengenal cerita "lada secupak". Cerita sat Raja Aceh mengirim utusan ke Turki untuk membeli meriam dengan menggunakan lada sebagai pembayarannya. Di Turki mereka lama menunggu, sampai akhirnya utusan itu menjual lada sedikit demi sedikit sehingga tinggal "secupak".
Pada 28 September 1571, Sultan Alauddin wafat. Perebutan kekuasaan terus terjadi, sampai seorang tua bernama Sayyid Al-Mukammil disepakati menjadi raja. Ali Riayatsyah menggantikan Al-Mukammil. Aceh diserbu Portugis. Raja wafat dalam serbuan itu. Iskandar Muda -keponakan yang tengah dipenjara oleh raja-bangkit memimpin perlawanan dan mampu mengusir Portugis. Kitab "Bustanus-salatin" menyebut Iskandar Muda dinobatkan pada 6 Dzulkhijjah 1015, atau awal April 1607.
Para bangsawan kerajaan dikontrol dengan keras oleh Iskandar Muda. Mereka diharuskan ikut jaga malam di istana setiap tiga hari sekali tanpa membawa senjata. Setelah semua terkontrol, Iskandar Muda memegang kendali terhadap produksi beras. Di masanya, Kerajaan Aceh Darussalam mengekspor beras keluar wilayah. Ia memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal asing, mengatur kembali pajak perdagangan (saat itu banyak pedagang Inggris dan Belanda berada di Aceh), bahkan juga mengenai harta untuk kapal karam.
Untuk militer, Iskandar Muda membangun angkatan perang yang sang kuat. Seorang asing, Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar 40 ribu orang. Untuk armada laut, diperkirakan Aceh memiliki 100-200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awal 600-800 orang yang dilengkapi tiga meriam. Ia juga mempekerjakan seorang Belanda sebagai penasihat militer yang mengenalkan teknik perang bangsa Belanda dan Perancis. Benteng Deli dijebol. Beberapa kerajaan ditaklukkan seperti Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619) serta Tuah (1620).
Iskandar Muda wafat pada 29 Rajab 1046 H, atau 27 Desember 1636. Ia digantikan menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang lembut. Tidak bertangan besi seperti mertuanya. Iskandar Tsani lebih menitikberatkan pada masalah keagamaan ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sri Sultan Taju al_Alam Syafiatuddin Syah (1641-1675) setelah Iskandar Tsani wafat. Setelah itu, tiga perempuan memegang kendali kerajaan Aceh. Mereka adalah Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675-1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688) dan Ratu Kamalat. (1688-1699).
Kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya terus menyurut. Pertikaian internal terus berlangsung. Sementara pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke wilayah Riau-Johor-Malaka. Aceh baru muncul kembali dua abad kemudian, yakni akhir Abad 19, ketika Belanda berusaha menguasai wilayah tersebut. Pemberontakan oleh para bangsawan Aceh terjadi. Sekali lagi, sejarah Aceh kepemimpinan perempuan yakni melalui perlawanan Tjut Nya' Dhien, sekalipun sudah tanpa Teuku Umar dan Panglima Polim. Dua abad kemudian, kepemimpinan perempuan di Aceh mewujud pada Tjut Nya' Dhien yang memimpin pemberontakan terhadap Belanda.
Perang Aceh
(1873-1903)
Awalnya adalah "Tractat London 1871". Dalam perjanjian tersebut, Inggris menyerahkan seluruh wilayah Sumatera pada Belanda. Sebelumnya, "Tractat 1824", wilayah yang diserahkan hanya "Pantai Barat Sumatera". Dengan demikian Aceh terlindung dari tangan-tangan Belanda.
Kini Belanda mengincar Aceh. Pada 27 Desember 1871, wakil Sultan Aceh -Habib Abdurrahman-berunding dengan Belanda di geladak kapal Jambi. Intinya, Aceh sepakat untuk berdagang dan bersahabat dengan Belanda asalkan wilayah yang pernah menjadi bagian Kerajaan Aceh dikembalikan. Di antaranya adalah Sibolga, Barus, Singkel, Pulau Nias dan beberapa kerajaan di pesisir Sumatera Timur. Lima orang utusan Sultan Aceh dipimpin Tibang Muhammad datang untuk berunding dengan Residen Riau, Desember 1872.
Sebulan di Riau duta tersebut pun diantar pulang dengan kapal uap Mernik, melalui Singapura. Di Singapura, mereka sempat bertemu dengan Konsul Amerika dan Konsul Italia. Pertemuan tersebut dimanfaatkan Belanda untuk menuduh Aceh berselingkuh. Belanda lalu mempersiapkan armada perangnya untuk menggempur Aceh. Kesultanan Aceh juga bersiaga. Mereka mendatangkan 1349 senjata -berikut 5.000 peti mesiu-dari Pulau Pinang. Rakyat juga telah dimobilisasi oleh T. Chik Kutakarang.
Tanggal 1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen menyatakan perang. Sebanyak 33 kapal mengepung Aceh, dengan kekuatan 168 perwira dan 3198 prajurit. Tanggal 5 April, perang pecah di Pantai Cermin -Banda Aceh. Kapal "Citadel van Antwerpen" terkena 12 tembakan meriam. Belanda terus mendesak ke arah Masjid Raja dan "dalam" -istilah untuk menyebut istana. Rakyat Aceh -yang terus meneriakkan "La ilaha illalllah"-semakin gigih. Tanggal 14 April, Jenderal Mayor J.H.R. Kohler tewas. Belanda mundur. Sebanyak 45 orang pasukan Belanda tewas, 405 lain luka-luka. Tanggal 25 April, serdadu Belanda kembali ke kapal. Empat hari kemudian, mereka meninggalkan pantai Aceh.
Tanggal 16 Nopember 1873, 60 kapal bertolak dari Batavia untuk kembali menyerang Aceh. Kapal tersebut membawa 389 perwira, 7888 serdadu, 32 perwira dokter, juga "3565 orang hukuman dan 246 perempuan". Mereka membawa pula 206 pucuk meriam dan 22 mortir, dilengkapi pasukan zeni pembuat rel kereta api dan rakit untuk menyusuri sungai, seorang pastur, seorang ustad H.M. Ilyas asal Semarang, dan lima orang Jawa dan Cina sebagai mata-mata.
Sebelumnya, Belanda juga telah menyusupkan seorang bernama Ali Bahanan. Mangkunegara yang membantu Belanda menggempur Diponegoro, dilibatkan pula dalam serangan ke Aceh. Perwira Mangkunegara Ario Gondo Sisworo ikut berangkat ke Aceh bersama Perwira Paku Alam, Raden Mas Panji Pakukuning. Tanggal 9 Desember 1873, tentara Belanda mendarat di Kualalue dan bergerak di Kuala Gigieng. Perlawanan pasukan Tuanku Hasyim dan Tuanku Manta Setia dipatahkan Jenderal Mayor Verpijck.
Panglima Polim mengorganisasikan 3000 pasukannya di sekitar Masjid Raya. Ia dibantu 800 tentara Raja Teunom, 500 tentara Raja Pidie, dan sekitar 1000 rakyat Peusangan. Namun, 6 Januari 1874, Masjid Raya jatuh. Tanggal 13 Januari, Sultan dan Panglima Polim meninggalkan istana dan mengungsi ke Luengbata, lalu Pade Aye. Namun lima hari kemudian Sultan wafat karena penyakit kolera. Panglima Polim dan petinggi kerajaan kemudian mengangkat Muhammad Daudsyah -putra sultan yang baru berusia enam tahun-- sebagai sultan baru. Tanggal 31 Januari 1874, Jenderal van Swieten mengumumkan bahwa Aceh sudah ditaklukkan.
Namun, di luar Banda Aceh, perlawanan terus berlangsung sengit. Habib Abdurrahman, utusan Aceh ke Turki, berhasil mendarat di Idi dengan menyamar sebagai seorang Keling. Ia memimpin perlawanan yang menimbulkan banyak korban di kalangan Belanda. Belanda memperkuat gempurannya dengan mengganti Jenderal Diemont dengan Van der Hejden. Mereka berhasil menjepit perlawanan rakyat Aceh. Habib Abdurrahman menyerah, dan dikirim ke Jedah dengan kapal "Curacau" pada 23 Nopember 1878, dan dibekali 1200 ringgit. Dari Habib Abdurrahman, Belanda juga mendapat strategi untuk mematahkan rakyat Aceh.
Di Aceh Barat, Teuku Umar dan istrinya, Tjut Nya' Dhien memimpin perlawanan. Di Tiro, Tengku Cik di Tiro Muhammad Amin dan penggantinya, Tengku Syeikh Saman menggalang perlawanan rakyat. Pada Agustus 1893, Teuku Umar sempat menyeberang ke pihak Belanda dan dianugerahi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan.
Tiga tahun kemudian, Teuku Umar bergabung kembali dengan kawan-kawannya. Ia, bersama Sultan dan Panglima Polim habis-habisan bertempur. Dalam pertempuran di Pulo Cicem dan Kuta Putoih, 78 orang tentara Aceh tewas. Teuku Umar mundur ke Aceh Barat. Ia tewas pada 11 Februari 1899, dalam bentrokan di Meulaboh. Gubernur J.B. Van Heutz memimpin langsung serangan ke Pidie. Ia juga menggunakan penasihatnya, Snouck Horgonje, yang mengaku telah masuk Islam untuk menarik simpati rakyat Aceh.
Sultan dan Panglima Polim membentuk basis di Kuta Sawang. Namun pertahanan tersebut hancur dalam serangan 14 Mei 1899. Di saat kekuatan Sultan terdesak, di Aceh Timur seorang ulama bernama Abdullah Pakeh atau Teungku Tapa, berhasil mengorganisasikan 10 ribu pasukan. Ia juga menggalang laskar perempuan berkekuatan 500 orang. Berulang kali pasukan Teungku Tapa menyulitkan tentara Belanda.
Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung. Februari 1900, Sultan dan para pengikutnya menyingkir ke Gayo. Tanggal 1 Oktober 1901, Mayor G.C.E van Daaelen menyisir Tanah Gayo di pedalaman sekitar Danau Laut Tawar. Tidak ada hasil. Belanda kemudian bersiasat dengan menangkap istri Sultan di Glumpang Payong, dan kemudian istri lainnya di Pidie. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, juga ditangkap. Sultan, pada tanggal 10 Januari 1903, menyerahkan diri setelah Belanda mengancam akan mengasingkan istri dan anak sultan. Tanggal 6 September 1903, Panglima Polim juga menyerah setelah istrinya ditangkap. Perlawanan Tjut Nya' Dhien juga dapat diakhiri. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, dan meninggal pada 1906.
Perlawanan rakyat masih terus berlangsung. Namun Belanda telah menguasai keadaan.
Perang Diponegoro
(1825-1830)
Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.
Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".
Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.
Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.
Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.
Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.
Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.
Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.
Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."
De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.
Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.
Perang Paderi
(1821-1837)
Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti judi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo -seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Reneh.
Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda. Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Reneh cenderung lebih tegas. Tuanku nan Reneh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.
Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut "Harimau nan Salapan" (Delapan Harimau). Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut.
Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri. Kaum Paderi menggunakan pakaian putih-putih, sedangkan kaum adat hitam-hitam.
Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilangsungkan di Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran. Raja Muning Alamsyah melarikan diri ke Kuantan, Lubuk Jambi. Pada 1818, Raja Muning mengutus Tuanku Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam untuk menemui Jenderal Inggris Raffles di Padang. Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta menolak untuk campur tangan soal ini. Melalui "Tractat London", Inggris bahkan menyerahkan kawasan Barat Sumatera pada Belanda.
Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso memimpin 14 penghulu dari pihak Adat mengikat perjanjian dengan Residen Du Puy. Du Puy lalu mengerahkan 100 tentara dan dua meriam untuk menggempur kota Simawang. Perang pun pecah. Sejak peristiwa itu, permusuhan kaum Paderi bukan lagi terhadap kalangan Adat, melainkan pada Belanda. Mereka pun memperkuat Benteng Bonjol yang telah dibangun Datuk Bandaro. Muhammad Syabab -kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol-ditunjuk untuk memimpin benteng itu.
Dengan susah payah Belanda menguasai Air Sulit, Simabur dan Gunung. Dari Batavia, Belanda mengirim bantuan 494 pasukan dan 5 pucuk meriam. Pagaruyung dan Batusangkar dapat direbut. Mereka membangun benteng Fort van der Capellen, dan menawarkan damai. Tuanku Lintau menolak. Pertempuran sengit terjadi lagi. Tanggal 17 Maret 1822, pasukan Letkol Raaff yang hendak menyerang melalui Kota Tengah dan Tanjung Berulak berhasil dijebak Tuanku nan Gelek.
Juli 1822, sekitar 13 ribu pasukan Paderi merebut pos Belanda di Tanjung Alam. Pada 15 Agustus juga merebut Penampung, Kota Baru dan Lubuk Agam. Maka, pada 12 April 1823, Belanda mengerahkan kekuatan terbesarnya di bawah komando Raaff. Sebanyak 26 opsir, 562 serdadu, dan 12 ribu orang pasukan adat menggempur Lintau. Namun mereka dapat dihancurkan di Bukit Bonio. Pasukan van Geen yang hendak menyelamatkan meriam di Bukit Gadang juga kocar-kacir. Tiga perwira dan 45 serdadu Belanda tewas. Van Geen luka parah tertusuk tombak.
Pada 16 Desember 1823, Raaff kemudian diangkat menjadi Residen menggantikan Du Puy. Ia berhasil membuat perjanjian damai di Bonjol. Namun, diam-diam ia juga mengkonsolidasikan pasukan. Dan bahkan menggempur Guguk Sigadang dan Koto Lawas. Pemimpin Paderi, Tuanku Mensiangan terpaksa hijrah ke Luhak Agam. Paderi semakin kuat karena kini pasukan adat mulai berpihak ke mereka.
Raaff meninggal lantaran sakit. Penggantinya, de Stuers memilih jalan damai. Langkah ini ditempuhnya karena Belanda mengkonsentrasikan kekuatan untuk menghadapi pemberontakan Diponegoro. Stuers menugasi seorang Arab, Said Salim al-Jafrid, untuk menjadi penghubung. Tanggal 15 Nopember 1825, perjanjian damai pun diteken antara de Stuers dan Tuanku Keramat. Suasana Sumatera Barat kemudian relatif tenang.
Namun pengkhianatan terjadi lagi. Kolonel Elout menggempur Agam dan Lintau. Ia juga menugasi kaki tangannya, anak Tuanku Limbur, untuk membunuh Tuanku Lintau dengan bayaran. Pembunuhan terjadi pada 22 Juli 1832. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.
Pada 11 Janurai 1833, Paderi bangkit. Secara serentak mereka menyerbu dan menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Benteng Bonjol berhasil mereka rebut kembali. Seluruh pasukan Letnan Thomson, 30 orang, mereka tewaskan. Belanda kembali menggunakan siasat damai lewat kesepakatan "Plaakat Panjang", 25 Oktober 1833. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada pasukan Jenderal Cochius.
Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.
Benteng Bonjol kembali jatuh, 16 Agustus 1837. Belanda kemudian menawarkan perundingan damai. Saat itulah Tuanku Imam Bonjol dapat dijebak dan kemudian ditangkap pada 28 Oktober 1837. Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindah ke Ambon pada 19 Januari 1839. Pada 1841, ia dipindahkan ke Manado dan wafat di sana pada 6 Nopember 1864.
Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dan berbasis di Mandailing -Tapanuli Selatan. Tuanku Tambusai inilah yang menjadikan Mandailing sebagai daerah berbasis muslim.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
1 Komentar untuk "Daulat Abbasiyah I (750-1258 Masehi)"
Ternyata banyak sejarah-sejarah nya juga ya...
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).