eramuslim - Suatu hari ada seorang teman bercerita kepada saya bahwa dia bolos kuliah hanya karena berjanji menemui seorang dosen. Alasannya karena dia tidak mau ambil resiko terlambat menemui dosen tersebut. Yang terpikir olehnya bila dia terlambat, maka dia akan dimarahi, dan urusan yang tadinya bisa lancar bakal dipersulit oleh dosen tersebut. Teman saya ini lantas berkata, betapa rendahnya dia, karena kepada dosen yang sama-sama manusia saja dia bisa takut, sedangkan kepada Allah yang telah menciptakan dirinya dan juga dosen tersebut tidak demikian rasa takut itu.
Sering sekali dia melalaikan panggilan-Nya, mengundur-undur waktu menghadap-Nya, tanpa ada rasa takut sedikitpun, seakan-akan tidak akan ada konsekuensi dari sikapnya yang mengabaikan panggilan tersebut. Dia mengaku tak sepantasnya rasa takut kepada dosen melebihi rasa takutnya kepada Allah.
Mendengar pengakuannya, saya seperti ditampar. Tidak jauh beda dengannya, sayapun sering meletakkan rasa takut saya kepada suatu hal di atas rasa takut kepada Allah. Misalnya saja pada saat ujian ketika ada teman yang meminta jawaban kepada saya (padahal jawaban saya belum tentu benar), walaupun dengan setengah hati, akhirnya saya tunjukkan juga. Yang ada dalam pikiran saya waktu itu adalah takut dianggap sombong dan pelit oleh teman tersebut dan takut nanti disisihkan dari pergaulan. Tak pernah terlintas di benak saya rasa takut kepada Allah karena berbuat kecurangan.
Masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang saya perbuat tanpa merasakan takut kepada Allah. Seperti berbohong misalnya, dulu saya beranggapan berbohong hanyalah sebuah kesalahan kecil dan masih bisa ditolerir. Sering kita jumpai fenomena di masyarakat bahwa manusia lebih takut kepada manusia atau suatu hal ketimbang takut kepada Allah. Seorang karyawan pada saat rapat karena takut kepada atasannya, rela menunaikan shalat di akhir waktu. Seorang anak yang takut dimarahi oleh orang tuanya, memilih berbohong menutupi kesalahannya daripada berkata benar. Lalu seorang pelajar atau mahasiswa yang takut tidak lulus ujian, tidak segan-segan berbuat kecurangan seperti mencontek, melihat jimat, bahkan membeli nilai asalkan cepat lulus. Dan yang paling ironis adalah ketika ada orang yang mengabaikan panggilan adzan pada saat sedang asyik menonton TV, karena takut ketinggalan bagian terpenting dari acara tersebut. Terlebih lagi kalau waktu isya, alasan yang sering diungkapkan adalah, "Waktu isya kan panjang mas, sampai jam 4 pagi juga masih ada waktu."
Padahal tahukah kita 1 detik saja dalam hidup ini, tak ada satupun yang dapat menjamin kita masih bisa bernafas. Hal yang harus kita pertanyakan saat ini adalah apakah kita benar-benar meyakini bahwa Allah itu ada. Apakah kita selalu mengingat bahwa Allah selalu mengawasi kita, semua tindakan kita, dan apakah kita yakin tanpa ada keraguan bahwa Allah tak pernah lengah sesaatpun. Terakhir yang harus kita pertanyakan kepada diri kita, apakah kita benar-benar yakin bahwa nanti akan ada hari perhitungan dan pembalasan, dimana semua perbuatan kita di dunia akan dihitung pahala atau sebagai dosa.
Dari sekarang mari kita pupuk rasa takut dan malu kepada Allah. Sayapun dalam hal ini berusaha untuk benar-benar menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Semoga kita menjadi hamba yang selalu merasa diawasi oleh penciptanya.
Yudina Saputri
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
0 Komentar untuk "Kepada Siapa Rasa Takut Harus Dituju?"
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).