Seabad kehidupan Ibrahim penuh dengan perjuangan, gerakan, keterlunta-luntaan, jihad, dan perang melawan kebodohan kaumnya, kemusyrikan, penindasan Namrudz dan kefanatikan manusia-manusia penyembah berhala. Ibrahim tinggal di rumah Azar bapaknya - seorang penyembah dan pembuat berhala fanatik, bersama istrinya Sarah - wanita cantik yang belum juga memberinya anak.
Ibrahim makin tua dan kesepian. Walaupun berada di puncak kenabiannya, namun ia adalah seorang manusia biasa. Dan seperti manusia biasa lainnya, ia menginginkan seorang anak. Apalagi usianya kian senja. Ia tidak berpengharapan, karena pertimbangan akal sederhana pun hal itu rasanya tak mungkin. Ibrahim hanya dapat mendambakan. Maka berdo’alah dia,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku(seorang anak) yang termasuk orang yang shaleh.” (Q.S. Ash Shaaffat : 100).
Allah akhirnya melimpahkan karuniaNya kepada lelaki tua yang telah membelanjakan habis seluruh hidup dan kehidupannya, dan menanggungkan penderitaan demi menyebarluaskan risalahNya. Melalui wanita bernama Hajar, Allah memberinya seorang anak : Ismail.
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
“Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.”(Q.S. Ash Shaaffat : 101)
Ismail tentu bukan hanya seorang putera bagi ayahnya. Ismail adalah buah yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya dan karunia yang diterimanya sebagai orang telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan. Sebagai putera tunggal dari seorang lelaki tua yang telah menanggungkan penderitaan yang berkepanjangan, Ismail pun merasakan penuhnya kasih saying dan cinta ayahnya.
Di depan matanya - mata yang ditutupi oleh alis yang memutih dan yang berbinar-binar karena kebahagiaan, Ismail tumbuh di bawah asuhan dan kasih sayang seorang ayah yang mengabdikan hidup demi memenuhi perintahNya. Bagi Ibrahim, Ismail bak satu-satunya pohon hijau yang tumbuh di kebun gersang milik seorang petani tua.
Ismail berbeda dengan anak-anak lain. Kelahirannya telah didambakanya selama seratus tahun, dan diluar perkiraan ayahnya. Ismail tumbuh sebagai batang pohon yang kekar. Ia mendatangkan kecerahan dan kebahagiaan ke dalam hidup Ibrahim. Ia adalah harapan, kecintaan, dan buah hati Ibrahim. Akan tetapi, tanpa diduga-duga, wahyu Allah turun memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ismail.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata : “Hai anakku sesunguhnya aku melihat dalam mimipi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.” (QS. Ash Shaffat : 102)
Betapa goncangnya jiwa Ibrtahim ketika menerima wahyu yang luar biasa beratnya ini. Duka nian hatinya. Batinnya sangat goncang menerima wahyu itu. Tetapi wahyu itu adalah perintah Allah, perintah untuk menyembelih Ismail – buah hatinya. Konflik pun terjadi dalam batinnya. Siapakah yang lebih disayanginya- Allah atau Ismail? Dalam kondisi seperti yang dialami Ibrahim, ini adalah keputusan yang teramat sulit diambil.
Dan Engkau , siapakah atau apakah yang lebih disayangi? Allah atau dirimu sendiri? Keuntungan atau nilai? Ketergantungan atau kemerdekaan? Tauhid atau syirik? Berhenti atau terus berjalan? Hidup untuk hidup sendiri atau hidup untuk tujuannya? Mengabdi pada perasaan-perasaan atau mengabdi pada keyakinan hakiki? Menjadi seorang ayah atau menjadi seorang nabi Allah? Menuruti hawa nafsumu atau melakasanakan perintah Allah? Dan… ? Terakhir, siapakah yang engkau pilih: Allah atau ‘Ismail’mu?
Allah –dengan sifat rahman dan rahim-Nya –telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia dalam kehidupan ini. Manusia hidup menghirup udara tanpa batas, memakan hasil pertanian yang tumbuh tiada habis. Dengan akal, manusia dapat berpikir dan membedakan dirinya dari hewan. Allah lah yang menciptakan manusia sebagai makhluq yang sempurna, fisik dan non fisik. Atas rahmat Allah, manusia mampu menghasilkan keturunan dengan disertai perasan kasih sayang dan cinta. Saking banyaknya nikmat yang diberikan Allah, manusia tidak akan mampu menghitungnya.
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. An Nahl : 18)
Kenikmatan itu menggembirakan manusia; menjadikan hidup terasa nikmat dan menyenangkan. Tapi manusia acap lupa dan gampang terlena. Kenikmatan yang seharusnya disyukuri dengan menambah ketaatan kepada Allah, malah menjadikannya lalai dariNya. Allah mengingatkan hal ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذٰلِكَ فَأُولٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al Munafiquun : 9)
Dan ketika kenikmatan itu mejadi sangat dicintai dan mengalihkannya dari taat kepada Allah jadilah ia- seperti disebut Al Qur’an – sebagai Andada, yakni tandingan-tandingan Allah yang telah mengalihkan ketundukkan dan kecintaan yang seharusnya diberikan Allah.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah : 165)
TAUHID MENGHENDAKI KETAATAN
Setelah seratus tahun menjadi nabi diantara ummat manusia; hidup sebagai pemimpin yang memerangi penyembah-penyembah berhala, orang-orang bodoh, dan para penindas; berhasil menyempurnakan kewajiban - kewajiban Allah tanpa merasa ragu; menegakkan tauhid; mencapai tempat yang sangat dekat kepada Allah; berhasil melalui ujian-ujian. Kini Ibrahim menghadapi dilemma. Namun ia sadar itu bukan simalakama. Artinya, pengurbanannya tidaklah akan sia-sia.
Ibrahim menghadapi dua pilihan mengikuti perasaan hatinya dengan ‘menyelamatkan’ Ismail atau menaati perintah Allah dengan ‘mengorbankannya’. Ia harus memilih salah satu diantara keduanya. Seandainya yang diperintahkan Allah adalah agar ia mengorbankan dirinya sendiri , maka tidaklah sulit baginya untuk memnentukan pilihan. Selama ini, Ibrahim telah mempertaruhkan nyawanya demi Allah. Dan ia keberatan, bila dikehendaki demi taatnya kepada Allah ia pertaruhkan sekali lagi nyawanya itu.
Sekarang bayanglah dirimu ada di puncak kemuliaaan dan kebanggaann Ada satu hal engkau cintai yang demi nya engkau rela mengorbanakan segalanya dan dan hal itu adalah ‘Ismail’mu. Mungkin sekali ‘Ismail’mu adalah seorang manusia? Benda? Pangkat? Kedudukan? Sedang Ismail Ibrahim adalah anaknya sendiri.
Siapakah atau apakah ‘Ismail’mu? Kedudukanmu? Harga dirimu? Profesimu? Uang ? rumah? Mobil? Kebun-kebun? Cinta? Keluarga? Penghetahuan? Kelas sosial? Seni? Pakaian? Nama? Hidupmu? Keremajaanmu? Keelokkan paras mukamu?
‘Ismail’mu adalah : setiap sesuatu yang melemahkan imanmu, setiap sesuatu yang menghalangi perjalanananmu menuju taat, setiap sesuatu membuat engkau hanya memikirkan diri sendiri, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran, setiap sesuatu menutupi penglihatanmu dari melihat kebenaran setiap sesuatu yang menutupi telingamu dari mendengar kebenaran.
‘Ismail’mu adalah setiap sesuatu yang merampas kebebasanmu dan menghalangimu untu melaksanakan kewajiban-kewajibanmu, setiap kenikmatan yang membuat engkau terlena , setiap segala sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindari tanggung jawab. Di dalam hidup ini engkau harus mencari dan menemukan siapakah Ismailmu itu?
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran : 14)
Dan Ibrahim telah menemukan. ‘Ismail’nya adalah anaknya, buah hatinya. Mula-mula, ibrahim tidak kuasa membuka mulutnya untuk mengatakan kepada puteranya. Ismail menyadari gejolak hati ayahnya, tapi ia tahu bahwa mimipi seorang Nabi bukanlah bunga mimpi. Maka ia berusaha menenangkannya dengan berkata :
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash Shaaffat : 102)
Tetapi sebelum pisau itu menyentuh leher ismail, tiba-tiba muncullah seekor domba pengganti, disertai dengan seruan :
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ۞وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ۞قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ۞إِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ۞وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ۞
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.“ (QS. Ash Shaaffat : 103-107).
Maha benar Allah. Alah Yang besar telah memberikan sebuah pelajaran: Sejak saat itu tidak ada lagi manusia yang harus dikorbankan sebagai persembahan kepada Allah. Sebuah pelajaran penting lainnya adalah, bahwa sesungguhnya Allah tidak haus darah, sebagaimana tuhan-tuhan kaum paganis. Jadi Allah berbeda dengan tuhan-tuhan lain yang lapar dan mengharapkan persembehan dari manusia berupa manusia.
Dan pelajaran yang paling dalam maknanya adalah bahwa Allah tidak menghendaki Ismail dikorbankan; yang dikehendakinya adalah agar Ibrahim mengorbankan ‘Ismail’nya; dan kehendakNya itu telah dilaksanakan Ibrahim dengan gagah berani. Ismail memperoleh kemuliaan karena ia dipilih sebagai korban dan ia telah menghadapinya dengan tabah. Allah Yang Maha Besar tidak membutuhkan sesuatupun darinya; Dia tidak seperti manusia yang memiliki segala macam kebutuhan.
Inilah yang dikehendaki Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas diri manusia. Dialah yang telah memuliakan dan mengangkat Ibrahim ke tingkat kerelaan mengorbankan puteranya sendiri. Disamping itu, Allah telah memuliakan Ismail dengan menjadikannya sebagai korban persembehan kepadanya - sedang ia sama sekali tidak terluka di dalam pengorbanan itu.
Inilah kisah mengenai Ibrahim yang membawa agama tauhid (Islam), bukan mengenai tuhan-tuhan yang haus darah, masokhis-masokhis, atau penganiayaan-penganiyaan manusia. Inilah kisah mengenai kesempurnaan manusia dan kebebasannya dari sikap mementingkan diri sendiri dan nafsu-nafsu kebinatangannya. Inilah kisah kenaikan manusia sehingga ia memiliki ruh dan cinta yang luhur; sehingga ia memiliki kemauan kuat yang membebaskan dirinya dari setiap sesuatu yang menghalangi untuk melaksanakan kewajibannya sebagai manusia yang sadar; sehingga ia sampai ke tingkat kerelaan untuk untuk mengorbanakan diri sensiri seperti yang diperlihatkan oleh Ismail; sehingga ia mencapai kesyahidan; dan – terakhir sekali, yang ini tidak pernah kita jumpai dalam kamus sehingga ia menjadi Ibrahim. Inilah yang diserukan Allah di akhir drama manusia yang terbesar itu; korbankanlah domba untuk orang-orang yang lapar.
Tetapi, janganlah Engkau sendiri yang menentukan tebusan bagi pengorbanan ‘Ismail’mu itu. Biarlah Allah nyang menentukan dan menghadiahkannya kepadamu. Begitulah cara Dia menerima domba sebagai pengorbanan dirimu. Mempersembahkan domba sebagai pengganti Ismail adalah pengorbanan, tetapi mengorbankan domba demi pengorbanan itu sendiri adalah penjagalan - acara rutin di abatoir. Bagi Allah, bukan daging dan darah yang sampai kepadaNya, melainkan takwa hambanya; takwa yang mendorongnya taat menjalankan perintahNya.
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Hajj : 37)
Jadi, jika engkau ingin menghampiri Allah Yang Maha Besar - atau setidaknya mempersempit jarak dariNya - maka carilah ‘Ismail’mu, dan kurbankanlah ia. Kurbankanlah ‘Ismail’mu!
1 Komentar untuk "Kurbankan ISlamu"
terimakasih...
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).