MINAMATA. Inilah sebuah teluk dengan kota kecil bernama sama di kawasan Jepang, tempat sebuah tragedi menjadi legenda. Tragedi yang terjadi karena manusia hanya memikirkan keuntungan semata sehingga mengabaikan alam. Kisah duka berawal dari berdirinya Nippon Nitrogen Fertilizer, 1908, cikal bakal Chisso Co Ltd dengan produksi utama pupuk urea. Sama seperti industri lain yang berkembang saat itu, Chisso langsung membuang limbahnya ke alam, ke Teluk Minamata.
Tahun 1956 kecurigaan mulai muncul setelah direktur RS Chisso melaporkan ke Pusat Kesehatan Masyarakat Minamata atas masuknya gelombang pasien dengan gejala sama: kerusakan sistem saraf.
Sayang apa yang kemudian disebut penyakit minamata ini amat lambat penanganannya. Meski para peneliti dari Universitas Kumamoto, 1963, sudah menyebutkan penyebabnya adalah senyawa metil merkuri yang ditemukan pada kerang di teluk itu, dan pada lumpur limbah Chisso, tak ada tindakan berarti. Tak heran bila tahun 1965 gejala meluas pada penduduk di Prefektur Niigata, tetangga Minamata.
Baru 12 tahun kemudian, 1968, Pemerintah Jepang menyadari itu adalah pencemaran dan mengakui bahwa sumbernya adalah senyawa metil merkuri yang dibuang Chisso. Selain pupuk, pabrik ini juga membuat asam asetat, asam asetaldehid, dan vinil klorida, yang memang dibutuhkan dalam industri pupuk. Dalam proses-proses itu, terutama untuk asam asetaldehid, digunakan merkuri sebagai katalisator.
***
PADAHAL korban sudah telanjur berjatuhan. Pada level yang ringan ditemukan orang-orang dengan mulut kebal sehingga tidak peka terhadap rasa dan suhu, hidung tidak peka bau, mudah lelah, dan sering sakit kepala. Suatu hal yang sepertinya berupa keluhan biasa-biasa saja, tetapi membuat hidup sehari-hari menjadi susah.
Pada level berikutnya, mereka yang terserang sistem sarafnya, termasuk otak, tidak bisa mengendalikan gerakan-gerakan tangan dan kakinya, telinga berdenging sampai tuli, daya pandang mata menyempit, bicara susah, dan gerakan tubuh secara keseluruhan jadi sulit. Sebagian lagi pingsan, gila, atau mati dalam sebulan setelah serangan penyakit ini.
Yang mengerikan, banyak bayi-bayi yang dilahirkan dengan cacat bawaan. Rupanya ibu mereka saat mengandung banyak mengkonsumsi hasil laut Teluk Minamata sehingga janinnya ikut terpapar metil merkuri.
Setelah melalui negosiasi berkepanjangan, akhirnya tahun 1973 penduduk yang terkena penyakit minamata mendapat kompensasi. Chisso harus mengeluarkan biaya sekitar 18 juta yen untuk membiayai pengobatan, perawatan, dan berbagai upaya penyembuhan seperti mandi di sumber air panas, tusuk jarum, pijat, maupun konsultasi psikologi.
Chisso juga harus menyediakan dana abadi yang bunganya digunakan untuk membeli pempers, perawat yang membantu di rumah, biaya transportasi pulang pergi ke rumah sakit, dan biaya penguburan kalau korban meninggal.
Hingga tahun 1997, korban yang sudah mendapatkan sertifikat santunan dari Chisso mencapai 10.353 orang. Selain itu, 2,262 orang mendapat sertifikat dari pemerintah dan 1.240 telah meninggal. Suatu jumlah yang cukup besar, mengingat jumlah penduduk kawasan Minamata tak sampai 100.000 jiwa waktu itu.
Selain kompensasi, tahun 1975 pemerintah mengeluarkan larangan mencari ikan di teluk itu. Hingga 1968 -Chisso mulai mengganti asam asetaldehid dengan asetilen- diperkirakan sudah 70-150 ton merkuri dibuang ke Teluk Minamata.
Pemerintah Jepang butuh waktu 10 tahun (1977-1987) untuk merehabilitasi. Ditambah dengan reklamasi yang selesai tahun 1990, total biaya yang dikeluarkan pemerintah dan Chisso adalah 48,5 milyar yen (dengan kurs sekarang sekitar Rp 3,4 trilyun). Ini masih di luar kompensasi untuk yang sakit. Bayangkan betapa mahalnya.
Seharusnya, tragedi Minamata bisa menjadi peringatan bagi berbagai bangsa untuk tidak mengabaikan lingkungan. Tetapi ternyata tidak. Belum ada tanda-tanda upaya rehabilitasi Teluk Jakarta, sudah muncul kasus pencemaran merkuri di Pantai Kenjeran Surabaya dan Sungai Cisadane.
***
INDUSTRI pupuk, seperti diungkapkan Dra Masnellyarti Hilman MSc, mantan Direktur Pengelolaan Limbah B3 (bahan beracun berbahaya) Bapedal, memang potensial mengeluarkan limbah merkuri. Soalnya gas yang digunakan dalam proses produknya banyak mengandung merkuri.
Industri lain yang potensial menghasilkan limbah merkuri adalah kaustik soda yang banyak diperlukan pabrik kertas, baterai, dan juga kosmetik. Cuma industri kaustik soda sudah banyak yang mengganti merkuri sel dengan membran sel, pada baterai diganti dengan kadmium, dan penggunaannya di kosmetik juga sudah dilarang.
Yang paling banyak memang dari industri pertambangan, terutama yang tanpa izin seperti penambangan emas rakyat. Mereka menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dari pasir sungai. Sungai Cisadane misalnya, tercemar merkuri dari pertambangan emas di Pongkor. Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah, nasibnya sama.
Di luar pencemaran, sebenarnya alam sendiri mengandung merkuri dengan jumlah amat besar. Di Indonesia, kandungan merkuri banyak terdapat di kawasan Jawa utara sampai Lhokseumawe di Aceh. Sementara di Kalimantan malah sedikit. Merkuri alam terekspose ke lingkungan bila ada penggalian Bumi untuk pertambangan, perminyakan.
Merkuri dalam bentuk logam sebenarnya tidak begitu berbahaya, karena hanya sampai 15 persen yang bisa terserap tubuh manusia. Tetapi begitu terekspose ke alam, dalam suasana asam ia bisa teroksidasi menjadi metil merkuri. Bakteri-bakteri tertentu juga bisa mengubah logam merkuri menjadi metil merkuri yang larut air, dengan penyerapan di tubuh sampai 95 persen.
Namun penanganan merkuri sendiri memang tidak gampang. Agar tidak mencemari lingkungan sampai saat ini merkuri diperlakukan seperti radioaktif. Dikemas secara khusus kemudian dibuang di tempat khusus pula, yang diistilahkan Masnellyarti dengan dibunkerkan. "Di Jerman, limbah merkuri dibunkerkan di bekas tambang garam," tambahnya.
Merkuri tidak boleh dibakar di insinerator, karena pada suhu kurang dari 400oC sudah menguap. Uap merkuri ini makin berbahaya lagi karena sangat beracun dan bisa terisap langsung ke paru-paru.
"Ini sebenarnya amat membahayakan para penambang emas rakyat. Karena setelah terpisah dari pasir, mereka menguapkan merkuri dari amalgama (senyawa merkuri-emas) untuk memisahkan kembali emasnya," papar Drs Hendra Setiawan, mantan Kepala Subdirektorat pengendalian pencemaran air di Bapedal.
Pengalaman Bapedal dengan limbah merkuri Mobil Oil adalah dengan waste exchange. Soalnya gas yang ditambang ternyata mengandung merkuri sampai 96 persen, sehingga lebih baik diberikan pada industri yang membutuhkan. "Jadi merkuri itu dipakai pabrik di Surabaya yang masih menggunakan merkuri sel untuk industri kaustik sodanya," papar Masnellyarti.
Namun ke depan memang masih harus dikembangkan pengelolaan merkuri yang lebih baik. Soalnya, dampak jangka panjang dari bunker sistem ini sendiri belum diketahui.
***
MERKURI, baik logam maupun metil merkuri, biasanya masuk tubuh manusia lewat pencernaan. Bisa dari ikan, kerang, udang, maupun air yang terkontaminasi. Namun bila dalam bentuk logam biasanya sebagian besar bisa disekresikan. "Sisanya yang akan menumpuk di ginjal dan sistem saraf, yang suatu saat akan mengganggu bila akumulasinya makin banyak," kata Hendra.
Dalam bentuk metil merkuri, sebagian besar akan berakumulasi di otak. Karena penyerapannya besar, dalam waktu singkat bisa menyebabkan berbagai gangguan. Mulai dari rusaknya keseimbangan, tidak bisa berkonsentrasi, tuli, dan berbagai gangguan lain seperti yang terjadi pada kasus Minamata.
Metil merkuri makin berbahaya pada ibu hamil. Meski semua merkuri dapat menembus plasenta, namun metil merkuri diserap bayi 30 persen lebih tinggi daripada di darah ibunya. Akibatnya bila tidak keguguran, bayi yang dilahirkan akan banyak masalah. Keseimbangan terganggu, terlambat gerak motoriknya, IQ rendah, cacat, dan sebagainya. Suatu hal yang sekali lagi sudah terbukti di Minamata.
Sementara bila terisap bisa berdampak akut (seketika) tetapi juga bisa berakumulasi dan terbawa ke organ-organ tubuh lainnya, bronkitis, sampai rusaknya paru-paru.
Padahal seperti pengalaman Jepang, untuk membersihkannya tidaklah mudah. Di Denmark misalnya, yang salah satu teluknya tercemar limbah merkuri harus membuat sistem pengolahan khusus dengan karbon aktif. Air dan lumpur laut kemudian dipompa masuk ke pengolahan itu untuk menangkap merkurinya.
"Bayangkan berapa biayanya karena itu harus dilakukan bertahun-tahun sampai baku mutunya kembali normal," papar Masnellyarti.
***
JEPANG, sungguh belajar banyak dari tragedi Minamata. Pertama, manusia tak hanya menjadi pelaku kejahatan terhadap alam tetapi sekaligus menjadi korban kejahatannya sendiri.
Kedua, memacu pertumbuhan ekonomi dengan industri massal dan konsumsi berlebihan, hanya akan menghasilkan limbah yang massal pula. Karena itu, Jepang berupaya mengembangkan industri hijau yang tidak lagi mencari untung sebesar-besarnya tetapi menjalankan bisnis yang beretika dan berkelanjutan. Untuk itu, Pemerintah Jepang amat ketat memberlakukan syarat pengolahan limbah.
Ketiga, mereka amat concern tehadap keamanan pangan, sungai, dan lautnya. Tak heran bila banyak produk pangan ekspor dari Indonesia, sering ditolak hanya karena tercampur sehelai rambut.
Indonesia memang harus belajar banyak dari Minamata. Soalnya dalam berbagai pernyataannya belakangan ini, banyak menteri ekonomi di Kabinet Persatuan Nasional yang mengabaikan lingkungan demi investasi.
Padahal bila laut dan sungai tercemar, ekonominya sendiri bakal ikut guncang. Tak percaya? Coba saja ekspor udang, ikan, dan kerang dari Teluk Jakarta atau Pantai Kenjeran. Begitu ketahuan tercemar merkuri, apa tidak habis kita? (nes)
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
1 Komentar untuk "Mengapa tidak Belajar dari Minamata?"
siap terimakasih banyak?
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).