Yudhi'm Blog

Blog yang berisi berbagai macam tulisan & tutorial umum. Enjoy the blog here!!!

Banner Iklan1

Banner Iklan1
Sudahkah keluarga Anda terlindungi?

Banner Iklan

Banner Iklan
970x90

DIMANA AYAH

Alwi tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja hadir sosok laki-laki selain dirinya di rumah ini. Ketika anak umur tujuh tahun itu bertanya pada Ibu, jawabannya singkat, “ Dia Bapak barumu.”
Alwi diam terkejut.
“ Kok diam? Katanya mau Bapak. Jadi enggak mau nih.” Ibu tersenyum.
Alwi tertawa. Dia gembira bukan alang kepalang. “ Asyiiik, akhirnya punya Bapak.” Alwi lompat kegirangan. Selama ini kata Bapak hanya hadir dalam bait tanya. Alwi tak pernah tahu siapa Bapaknya. Kata Ibu, Bapak tenggelam di laut sewaktu hendak berangkat ke Arab. Tetangga bilangnya lain lagi. Mereka bilang Alwi anak haram.
Sewaktu Alwi disebut-sebut sebagai anak haram, gembiranya bukan main. Ternyata aku anaknya Haram, pikirnya. Ternyata selama ini dia punya Bapak yang bernama Haram. Namun lama-lama sebalnya bukan main. Wince tidak boleh bermain dengan Alwi oleh ibunya hanya karena dia anak haram.
“ Jangan pergi main sama Alwi! Dia anak haram, tahu!” kata ibu Wince suatu hari.
“ Memangnya kenapa kalau Aku anak haram?” tanya Alwi marah.
“ Kamu bukan anak baik-baik!” Pintu rumah Wince ditutup.
Alwi kesal. Sambil menghentak-hentakkan kaki, dia pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah dia langsung mencari ibunya.
“ Bu, memangnya kenapa kalau aku anak Haram?”
Ibunya yang sedang memasak tersentak kaget. “ Siapa yang bilang?!”
“ Ibunya Wince.”
Ibu terdiam. Dia hanya menghela napas
“ Bu, memangnya Pak Haram itu bukan orang baik-baik? Penjahat ya? Ah, kalau begitu aku tidak mau jadi anaknya Pak Haram. Aku anak Ibu saja.”
Ibu tersenyum. “ Ya, kamu anaknya Ibu saja.”
Sejak saat itu, setiap disebut-sebut sebagai anak haram, Alwi marah besar.
“ Aku bukan anak Haram. Aku anak Ibu saja!” teriaknya selalu.
Tapi seringkali ia iri pada teman-temannya yang mempunyai bapak.
Sekarang Alwi sedang menatap satu sosok di depannya. Lelaki itu sedang duduk-duduk santai. Kakinya dinaikan sebelah ke atas bangku. Mulutnya mengepulkan asap rokok sambil sesekali menyeruput segelas kopi. Alwi menghirup dalam-dalam aroma kopi yang begitu nikmat. Dia pikir beginilah yang dilakukan lelaki dewasa di pagi hari. Ingin sekali dia ikut meminum segelas kopi. Tapi dia enggan pergi ke dapur atau minta dibuatkan Ibu. Dia asyik memandang lelaki yang kini menjadi bapaknya.
“ Alwi!”
Badan Alwi berdesir sebentar. Namanya dipanggil. Belum pernah ada suara sebesar itu yang memanggilnya di dalam rumah ini.
“ Ya Pak.”
“ Beli nasi uduk sana.” Lelaki itu mengeluarkan uang dari saku celananya.
“ Ya Pak.”
Alwi menyambar uang dari tangan lelaki itu. Dia berlari sambil sesekali lompat kegirangan. Baru kali ini tangan seorang lelaki besar memberinya uang. Biasanya jika ibu menyuruhnya membeli nasi uduk, Alwi seringkali malas. Dia akan cemberut. “ Beli nasi uduk itu tugasnya ibu-ibu,” begitu katanya selalu.
Ternyata punya Bapak itu menyenangkan Alwi. Setiap pagi, ketika Bapak pergi kerja, dia akan ikut bonceng motor Bapak. Dan Bapak akan menurunkannya di sekolah. Alwi akan duduk di atas motor dengan gagah. Dan orang-orang akan saling berbisik, “ Siapa tuh yang boncengin Alwi?”
“ Marko. Mandor penggilingan padi Juragan Rahmat. Sekarang dia jadi Bapak barunya Alwi.”
Ketika sore tiba, Alwi akan buru-buru mandi. Dia akan duduk dengan manis di depan rumah. Kalau ditanya sedang apa, dia akan menjawab,” Tunggu Bapak.”
Adanya seorang lelaki besar menambah hangat suasana rumah. Jika malam tiba Alwi dengan semangat bercerita pada lelaki besar itu tentang siangnya. Dia akan bercerita kalau tadi siang dia bersama teman-teman pergi ke sawah menangkap kepiting. Sedang asyik-asyiknya menangkap kepiting, temannya yang gendut terpeleset dan jatuh ke dalam lumpur sawah. Lelaki besar itu dan ibunya pun tertawa mendengar cerita Alwi . Sekarang tidak hanya jangkrik yang terdengar dari rumah Alwi, tapi juga suara hingar bingar penghuninya.
Dengan teman-teman lainnya, Alwi pun tidak lagi merasa iri dan minder. Setiap kali teman-temannya bercerita tentang bapak mereka, Alwi tidak lagi terdiam. Sekarang Alwi malah paling sering bercerita tentang Bapak barunya. Teman-temannya dengan pandangan takjub mendengarkan cerita Alwi. Buat mereka mempunyai bapak baru merupakan hal yang aneh.
“ Bapak baruku punya gambar kalajengking di badannya. Warnanya hitam. Besar sekali. Kira-kira besarnya segini.” Alwi memperlihatkan tangannya yang meregang ke hadapan teman-temannya.
“ Wah besar sekali.” seru teman-temannya.
“ Kata Bapak baruku namanya tato. Cara menggambarnya serem lho. Pakai jarum panas.”
“ Iiih, pasti sakit deh,” ujar seorang temannya.
“ Iya dong, tapi Bapak baruku itu-kan orang hebat. Dia tidak menangis sama sekali. Kalau aku sudah besar aku akan bikin gambar banteng di badanku.”
“ Kalau aku gambar singa,” teman yang lain menimpali. Mereka kemudian saling berebutan menyebutkan benda-benda yang akan di gambar di atas tubuhnya jika besar kelak.
“ Wah Bapak barumu hebat yah,” celetuk seorang anak tiba-tiba.
“ Iya dong!” Alwi tersenyum bangga.
Tapi tiba-tiba semuanya berubah. Alwi tak mengerti. Setiap hari Bapak barunya marah-marah. “ Harga solar naik. Produksi padi makin berkurang. Gajiku dipotong Juragan Rahmat. Brengsek!”
Makin hari suasana rumah makin tidak enak. Ibu sekarang sering mengeluh harga minyak tanah naik. Alwi yang tidak mengerti apa-apa, jatah jajannya dikurangi. Pernah satu kali Alwi menangis keras karena tidak dibelikan es cincau yang lewat di depan rumah. Dan baru berhenti ketika Bapak membentaknya, “ Diam!” Alwi berlari menuju pelukan Ibu dan terisak-isak menahan tangis. Saat itu dia takut sekali pada Bapak barunya.
Suatu malam dari ruang makan, Ibu memanggil Alwi. Bapak juga sudah ada di sana. Di atas meja sudah terhidang pisang goreng kesukaannya.
“ Alwi, ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan.”
Alwi hanya memandang ibu. Mulutnya sibuk dengan kunyahan pisang goreng.
Ibu mengelus kepala Alwi. “ Alwi, sekarang apa-apa mahal. Gaji Bapakmu tidak cukup untuk kita semua. Ibu memutuskan untuk bekerja membantu Bapak.”
“ Kerja di mana Bu?” Mata Alwi menatap Ibu dan Bapak bergantian.
“ Di Arab.”
“ Lho, kok di Arab? Sekolah Alwi bagaimana?”
“ Alwi nggak ikut. Alwi di sini sama Bapak.”
Alwi menatap Bapak dan Bapak mengangguk.
“ Alwi nggak mau! Alwi ikut Ibu saja!” Alwi mulai menangis.
Ibu dan Bapak mencoba mendiamkannya. Beribu bujuk rayu dicoba, Alwi tetap menangis sambil sesekali teriak, “ Alwi nggak mau!”
Bapak terlihat mulai kesal. Ibu mulai resah dan mencoba membujuk Alwi dengan uang lima ratus rupiah. Alwi menggeleng kemudian lari ke kamar. Dia terisak-isak sambil telungkup di atas kasur. Lama-lama matanya lelah kemudian terpejam. Sayup-sayup terdengar suara ibu, “ Ibu kerja ke Arab buat Alwi juga. Buat sekolah Alwi.”
Esoknya badan Alwi panas. Ibu sibuk mengkompresnya dengan air dingin. Alwi tidak melihat Bapak. Kata ibu, Bapak sudah pergi pagi-pagi sekali. Ibu juga sama sekali tidak menyinggung soal kepergiannya ke Arab. Sorenya, tiba-tiba Bapak pulang membawa sekantong plastik jeruk.
“ Alwi cepat sembuh, ya,” kata Bapak.
“ Iya, Pak,” ujar Alwi.
Bapak mengupas sebuah jeruk dan diberikannya pada Alwi. Alwi senang sekali Bapak tidak marah. Panas Alwi mulai turun. Alwi aktif bermain lagi. Makin hari, Bapak makin sering bersama Alwi. Bapak mengajaknya bercanda, mancing dan main bola. Hingga suatu hari.
“ Motor Bapak kemana? Alwi kangen ingin jalan-jalan lagi pakai motor Bapak.”
“ Alwi sayang Ibu nggak?” tanya Bapak.
Alwi mengangguk.
“ Sayang Bapak nggak?”
“ Ehm, sayang deh,” Alwi tersenyum kecil.
“ Kalau begitu, izinkan Ibu pergi ke Arab. Bapak janji Bapak akan mengurus Alwi dengan baik.” Mata bapak menatap Alwi penuh harap.
“ Bapak enggak akan marahin Alwi lagi ?”
“ Enggak. Bapak janji nggak bakalan marahin Alwi.”
“ Janji?!”
“ Janji.”
“ Terus motor Bapak kemana?”
“ Dijual.” Bapak tersenyum lebar. “ kita pakai sepeda saja, ya, Wi.”
“ Yaaah, sepeda.” Alwi terkekeh.
Akhirnya Ibu pergi juga. Motor Bapak ternyata dijual untuk membiayai keberangkatan Ibu. Alwi mendengar ibu berkata pada Bapak,” Titip Alwi ya, Kang!” Bapak mengangguk. Meski Alwi janji tidak menangis, dia tetap menangis ketika ibu melambaikan tangan di ujung jalan. Alwi tetap berdiri di ujung jalan meski mobil yang membawa Ibu sudah tidak kelihatan lagi. Akhirnya Bapak menggendong Alwi pulang ke rumah.
Rumah jadi sepi sejak Ibu tak ada. Bapak juga jarang pulang. Awalnya Alwi sering menangis karena merasa takut sendirian di rumah. Lama-lama Alwi jadi terbiasa. Bahkan ketika di meja tidak ada makanan, Alwi akan pergi ke rumah Bi Irah, teman Ibu yang baik hati. Tapi yang tidak bisa ditahan Alwi adalah rasa rindunya pada Ibu. Dia bisa menangis seharian kalau rindu pada Ibu.
Kata Bi Irah, Alwi harus rajin-rajin berdoa untuk Ibu. Dengan begitu rasa rindu Alwi akan terobati. Alwi tidak tahu bagaimana caranya berdoa. Akhirnya dia pergi ke mushalla untuk belajar berdoa. Di mushalla, dia tidak sekedar belajar berdoa, tapi juga belajar shalat dan mengaji.
Sekarang Bapak menjadi sosok asing buat Alwi. Mereka tidak lagi akrab seperti dulu. Bapak hanya sesekali pulang ke rumah. Bapak juga tidak lagi memberinya uang. Sepulang sekolah, Alwi jadi sering ke pasar. Bersama temannya Adi, dia menjadi kuli panggul, membantu ibu-ibu yang keberatan membawa belanjaannya. Lumayan bisa buat makan dan jajan. Tapi yang bikin Alwi pusing, bagaimana dia membayar uang sekolahnya. Alwi ingin bertanya pada Bapak, tapi rasa takut menghinggapinya. Hingga suatu pagi ketika Bapak baru saja pulang.
“ Pak, Alwi belum bayaran sekolah empat bulan.”
“ Enggak ada duit!” bentak Bapak.
“ Uang dari ibu “
Belum selesai Alwi berkata, Bapak sudah menarik tangannya dengan kasar.
“ Enggak ada duit, tahu!” suara Bapak makin meninggi. Bapak menghadapkan wajahnya ke wajah Alwi. Matanya melotot. Dari mulutnya, Alwi mencium sesuatu yang aneh.
Alwi mulai terisak.
Tiba-tiba Bapak membanting Alwi keras. “ Dasar anak nggak tahu diuntung.”
Alwi tersungkur ke lantai. Bapak mulai memukuli Alwi.
“ Ampun, Pak, ampun.” Alwi mengaduh.
“ Jangan panggil aku bapak! Aku bukan bapakmu. Kamu anak haram.” Bapak kalap.
Alwi kaget. Hatinya berdesir hebat. Kata itu terdengar lagi. Aku anak haram, batinnya. Kata anak haram terngiang-ngiang di kupingnya. Alwi ingin tahu arti anak haram.
“ Wak Haji, anak haram itu apa?” tanya Alwi pada Wak haji seusai mengaji.
Wak Haji tersenyum. “ Dalam Islam enggak ada tuh, yang namanya anak haram. Semua anak terlahir dalam keadaan suci. Kalau ada yang haram, mungkin orangtuanya saja yang melakukan perbuatan haram.”
“ Artinya apaan Wak Haji?” tanya Alwi serius.
“ Duh, nih anak. Bapak-Ibunya punya anak tapi enggak nikah. Ngerti Wi?”
Alwi tercenung. Alwi bertanya-tanya dalam hati, apakah Bapak kandungnya dan Ibu berbuat seperti apa yang dikatakan Wak Haji. Mulai timbul kecewa dalam hati Alwi. Tega-teganya Ibu berbuat itu pada Alwi. Dan dimana Bapak kandungnya. Alwi marah. Ditendangnya kerikil dihadapannya. Kemudian Alwi lari sekencang-kencangnya menuju rumah. Air matanya mengalir deras.
Batinnya terus berteriak-teriak, kenapa semua ini menimpanya? Dimana Bapak? Andai Ibu ada di hadapannya, akan dia tanya tentang semua itu.
Alwi sudah berada di depan rumah. Napasnya memburu. Keringat membasahi tubuhnya. Baru saja dia akan membuka pintu rumah, dia mendengar suara perempuan tertawa diselingi suara besar lelaki yang beberapa bulan ini dia panggil Bapak. Alwi mengurungkan niatnya membuka pintu. Dia berjalan berjingkat ke belakang. Suara perempuan itu bukan suara Ibu, tapi sekarang ada di kamar Ibu.
Alwi tidak mengerti sedang apa mereka, tapi ada perasaan jijik di hati Alwi. Alwi memasuki rumah dari pintu belakang. Perlahan dia masuk ke kamarnya dan mengambil barang seperlunya. Diraihnya celengan ayam pemberian Ibu dari dalam lemari. Alwi bergegas keluar rumah. Di luar rumah, Alwi berteriak-teriak memanggil tetangga. Ada bentakan dari dalam rumah, menyuruhnya untuk diam. Alwi tidak peduli. Dia terus berteriak hingga tetangga berdatangan kemudian Alwi lari meninggalkan rumah.
Alwi terus berlari hingga ke ujung jalan tempat dia melepas ibu. Rintik hujan mulai turun. Alwi menatap jauh ke depan. Tekadnya sudah bulat. Dia akan mengejar Ibu. Dia akan meminta Ibu menjawab semua pertanyaan yang memenuhi dadanya.
Kampung Rawa, 17 Januari 03
Untuk seorang adik kecil yang bertanya di mana letak terminal

Di atas Langit Australia, 8 Oktober 2002
Aku terperangah menyaksikan akhir film Autumn in New York. Tragis dan menyedihkan. Richard Gere yang melakonkan Will Keane, juragan restoran setengah baya di New York itu, harus menangis karena kekasihnya Winona Ryder yang melakonkan Charlotte Fielding yang masih belia meninggal karena penyakit kronis yang dideritanya.
Aku teringat Cindy, istri Australia-ku yang kunikahi empat tahun silam. Empat tahun menikah, tak sekalipun ia mau ke Indonesia. Pun sekarang, saat aku harus ke Bandung untuk menikahkan Sarah, adik bungsuku.
Cindy adalah tipikal perempuan Aussie. Mandiri, humanis, fair, assertif, namun begitu cuek dengan keluarga. Jangankan urusan pernikahan, ketika ayah meninggal empat bulan silam-pun Cindy enggan ke Jakarta. “ Take it easy, Tommy, semua orang pasti mati,” katanya santai.
Cindy tumbuh dalam keluarga broken home. Ayah ibunya bercerai ketika ia berusia tiga tahun. Cindy tumbuh matang dan mandiri. Ia bekerja dan belajar 16 jam sehari. Tanpa keluhan. Pagi hari bersekolah, sore dan malam hari menjadi pelayan restoran. Ia menamatkan high school-nya dan melanjutkan ke School of Law, di Sydney hingga mencapai gelar master bidang hukum internasional dengan predikat summa cum laude. Sesudahnya, dunia begitu ramah bagi Cindy. Hampir semua law firm besar di kota ini melamarnya. Cindy memilih salah satu yang terbesar. Semuanya berjalan begitu lugas, sampai ia bertemu aku yang dikirim untuk studi S-3 dan magang di kantor mitra asing kami di Sydney, Krueger and Associates.
Studi di University of New South Wales sambil magang bukanlah pekerjaan mudah. Aku hampir tak memiliki waktu untuk kehidupan sosialku. Aku nyaris tak punya waktu untuk manusia. Kecuali tiga jam saja setiap pekan, ketika shalat Jum”at di Masjid Indonesia Wabash Street, dan pengajian Ahad.
Pada saat-saat sibuk itu, ternyata ada sepasang mata yang selalu memperhatikanku. Aku tak sadar sampai pemilik mata biru ini menegurku dengan bahasa Inggris aksen Australia yang khas. “ Mengapa anda selalu menggelar kain merah dan sujud ke arah barat laut setiap pukul dua siang, lima sore, delapan sore, dan sembilan malam? Apakah anda pengikut suatu aliran kepercayaan di Asia Selatan?” Tanya pemilik mata biru tersebut setengah menyelidik.
“ Oh No. Saya seorang muslim. Seorang muslim wajib melaksanakan ibadah shalat lima kali setiap hari,” jawabku sedikit heran. Tak biasa wanita Aussie membuka percakapan dengan pria asing.
Kemudian dialog pun mengalir lancar. Si mata biru itu ternyata Cindy Stuart Masterson, junior lawyer di Krueger sekaligus kandidat Doktor di UNSW.
Perjumpaan yang semakin sering membuat kami saling tertarik, sampai suatu hari Cindy menanyaiku serius, “ Tommy, will you marry me?” Aku kontan gelagapan. Akhirnya, aku hanya berkata, “ Ah, ya. Insya Allah!”
Kami menikah pada 21 Februari 1997. Sepekan setelah Iedul Fitri 1417 H. Dua hari sebelumnya Cindy mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Wabash Street. Imam masjid memberinya nama Aisyah Muthmainah.
Setahun pertama pernikahan, kami adalah pasangan yang amat harmonis. Petaka mulai timbul setelah anak pertama kami lahir. Aku ngotot memberinya nama Islam, Faiz atau Raihan. Cindy protes. “ Aku akan memberinya nama Ian.” Aku malas berdebat. Setelah kejadian itu Cindy menjadi sangat berkuasa. Cindy-lah yang menentukan Ian sekolah dimana. Makan apa. Boleh ke masjid atau tidak.
Ketika anak kedua kami lahir, aku ingin memberinya nama Nadia atau Yasmin, yang kurasa agak akrab dengan telinga Australia. “ No, Tommy. Namanya Nicole. Ia akan seperti Nicole Kidman. Mudah-mudahan ia akan mulus menapak Hollywood seperti Nicole Kidman,” lanjut Cindy santai.
Cindy semakin sulit diatur. Janjinya untuk belajar Islam, membaca Al Qur”an, dan shalat tak pernah terwujud. Ia pun membatasi Ian dan Nicole untuk berinteraksi dengan komunitas muslim Indonesia. Rencanaku untuk membawanya pindah ke kawasan muslim Lakemba juga ditolaknya mentah-mentah.
Kesabaranku habis saat Cindy enggan ta”ziah ke Bandung saat ayah meninggal empat bulan yang lalu. Pekerjaannya terlalu berharga baginya. Mertuanya tak lebih berharga dari appointment dan contract yang harus dibuatnya. Tragisnya, Cindy melarang aku membawa Ian dan Nicole dengan alasan takut terkena virus tropis Indonesia. Dua minggu kemudian aku meninggalkan rumah tanpa pamit. Sudah hampir tiga bulan aku \lquote menggelandang” dari rumah ke rumah teman-teman Indonesiaku. Malam hari aku tidur di masjid, siang belajar di UNSW. Aku tak pernah lagi ke Krueger and Associates. Aku belum sanggup bertemu Cindy.
Permintaan Sarah via e-mail sepekan silam menghentikan petualanganku. Aku senang pulang ke Indonesia. Satu saja yang membuatku resah. Permintaan Sarah : bawa Teh Cindy, Ian, dan Nicole, ya Mas”!
Bandung, 11 Oktober 2002
Pernikahan Sarah dan Syamsul tergolong unik. Perkenalan, lamaran, dan akad nikah semuanya berlangsung kilat. Tukar menukar biodata berlangsung via internet, telepon dan teleconference. Baru empat hari mereka berjumpa. Allah menyatukan hati mereka kendati mereka tak sempat mengenal lama satu sama lain.
Aku \lquote cemburu” melihat kemesraan Sarah dan Syamsul. Sedangkan aku? Pergi dari Sydney seorang diri setelah \lquote terusir” dari rumah. Meninggalkan istri dan dua anak yang masih balita tanpa pamit.
Sabtu, 12 Oktober 2002
Aku berkemas-kemas. Sore nanti flight Ansett Aussie 247 tujuan Sydney telah menungguku di Bandara Soekarno Hatta. Aku tengah memasukkan oleh-oleh Ibu ke dalam tas, ketika berita tentang meledaknya bom di Bali kudengar di televisi. Innalillahi, Bali diserang? Dan kebanyakan korbannya adalah warga Australia. Negeri keduaku tanah tumpah darah istriku.
Belum habis rasa terkejutku, setengah jam kemudian aku mendengar semua penerbangan ke Australia ditunda sampai waktu yang tak ditentukan.
Senin, 14 Oktober 2001
Headlines Sydney News yang aku baca via internet sungguh mengejutkanku. Gelombang anti muslim dan anti Indonesia yang merebak di seluruh Australia pasca ledakan bom di Bali memakan korban warga muslim mancanegara yang tinggal disana. Islamic Center dan Masjid di Brisbane-Queensland diserang. Juga di Perth, Western Australia. Kata-kata kotor dituliskan di tembok masjid, bahkan kotoran manusia dilemparkan ke masjid.
Beberapa muslim Indonesia di Sydney, Melbourne, dan Perth diinterograsi oleh dinas intelijen Australia. Beberapa diinterogasi dan digeledah rumahnya dengan sangat tidak manusiawi.
Aku murka, sekaligus sedih. Aku teringat shohibku di Masjid Buranda-Holland Park. Terbayang wajah Imam Masjid Brother Abdul Quddus. Juga Brother Dwi dan Seno di University of Queensland.
Rabu, 16 Oktober 2002
Subuh aku tiba kembali di Australia. Petugas imigrasi menginterogasiku habis-habisan. Dia bertahan bahwa aku tak bisa masuk ke Australia karena status visa-ku tidak jelas. Aku ngotot. Aku adalah permanent resident dan bisa menjadi citizen karena menikah dengan wanita Australia. Juga, bahwa aku adalah lawyer dan kandidat doktor di bidang hukum yang bisa menggugatnya ke pengadilan. Ternyata yang terakhir itu mujarab.
Sabtu, 19 Oktober 2002
Hari ini aku giliran jaga malam di masjid Wabash Street. Masjid ini berulangkali menerima ancaman. Jum”at kemarin satu grup pemuda rasis bolak-balik di depan masjid sambil menunjuk-nunjuk masjid.
Jarum jam menunjukkan pukul dua dinihari. Aku membangunkan Brother Bahri untuk bergantian ronda. Lalu bersiap shalat malam. Dari samping tempat wudhu kudengar suara-suara slank Australia dan bunyi cat disemprotkan. Aku menyeret Brother Bahri keluar masjid. Sederet kata-kata kotor di tembok mesjid yang dibuat dengan cat pylox yang masih basah. Kata-kata kasar keluar dari empat mulut berbau minuman keras. Mereka juga mengeluarkan double stick dan pisau.
Kami bersiap menghadapi mereka. Tidak lama kemudian kami telah terlibat perkelahian. Syukurlah, lawan kami tak begitu lihai. Dalam dua menit si tinggi besar roboh. Tragisnya, pisau yang dipegangnya menikam dirinya sendiri.
Aku terhenyak. Kenapa sampai sejauh ini? Raungan sirene polisi semakin dekat. Kami digelandang ke kantor polisi terdekat.
Selasa, 22 Oktober 2002
Tiga hari kami menginap di kantor polisi. Tuduhannya : penganiayaan dan percobaan pembunuhan ! Selama itu kami tetap bungkam. Aku hanya mau bicara kalau aku didamping oleh pengacara. Polisi memberi waktu hingga Kamis jam dua belas siang. Jika kami tidak mendapat pengacara, polisi akan menyediakan pengacara negara. Akankah mereka berpihak pada kami? Aku tidak yakin.
Teman-teman kami telah menghubungi hampir semua pengacara, tapi nihil. Sebenarnya ini perkara biasa. Tapi setting sosial politik-nya tidak biasa. Beribu orang mencaci kami. Gelombang aksi massa menyerbu kantor polisi.
Kamis, 24 Oktober 2002
Hampir jam 12.00. Aku masih belum punya pengacara. Semenit sebelum pukul dua belas. Langkah-langkah panjang polisi penjara memasuki lorong. “ Yeah, lady ini mengajukan diri untuk menjadi pengacara anda,” \lquote Namanya Lady Cindy Stuart Masterson!” Aku tertegun.
Kamis, 5 Desember 2002
Hari ini sidang terakhir. Setelah sebulan lebih menghadiri sidang, kini aku dan Brother Bahri menanti putusan hakim.
Aku dituntut tujuh tahun penjara atas tuduhan penganiayaan dan percobaan pembunuhan. Brother Bahri dituntut empat tahun penjara atas tuduhan penyertaan dalam penganiayaan dan percobaan pembunuhan.
Alhamdulillah, sejak pemeriksaan polisi, pemeriksaan district attorney (kejaksaan) hingga pengadilan di district court aku selalu didampingi Cindy. Pengacara muda lulusan terbaik School of Law UNSW dan sebentar lagi menggaet Ph.D di bidang hukum. Dan, yang terpenting, ia istriku!
Cindy memang luar biasa. Kemampuan beracara-nya sangat piawai. “ Yang mulia, terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan karena telah terbukti ia tak sedikitpun memiliki niat untuk menganiaya ataupun membunuh. Ia hanya self defense, membela diri karena empat orang berandal menyerang masjid-nya.”
“ Yang mulia, terdakwa harus dibebaskan dari semua tuduhan, pisau itu tidak digenggamnya, bukan miliknya dan tidak diarahkan untuk menusuk korban. Lihat, tak ada satupun sidik jarinya di pisau tersebut. Pisau itu menancap ke tubuh korban oleh peran korban sendiri.
“ Yang mulia, ini tak adil. Terdakwa hanya membela diri dan rumah ibadahnya. Sementara keempat penyerangnya merusak rumah ibadahnya dan menyerangnya denga pisau dan double stick. Kedua terdakwa hanya melawan dengan tangan kosong. Ini tidak seimbang. Ini bela paksa. Sekarang mereka berdua jadi pesakitan, sementara sang penyerang masih bebas berkeliaran.
“ Yang mulia, korban sekarang sudah sembuh dari lukanya. Ia berfikir semua muslim militan, dan kejam.
“ Yang Mulia, itu adalah prasangka. Kalaupun memang benar, bolehkah kita menggeneralisir? menghukum seluruh muslim di seluruh dunia atas kejahatan sekelompok radikal muslim? Ini absurd, irrasional, Yang Mulia. Saya keberatan sekali!
“ Yang Mulia, masjid bagi umat Islam adalah tempat yang sakral. Menyerang tempat ibadah adalah kejahatan HAM Yang Mulia. Crime against humanity and Gross Violation of Human Right.
Setengah jam kemudian hakim District Court Sydney membebaskan kami dari tuduhan.
Aku dan Brother Bahri menangis terharu. Cindy memelukku. Pers memotret kami. Gelombang massa rasis dan ultranasionalis berteriak memprotes putusan hakim. Aku sujud syukur.
Jum”at, 6 Desember 2002
Sydney di akhir musim semi. Sydney Bridge berdiri dengan gagahnya. Di kejauhan, nampak Darling Harbour bermandi cahaya senja.
“ Cindy, Honey, kenapa kamu mau membela aku di pengadilan ? “ tanyaku dalam Bahasa Inggris yang paling santun.
“ Kamu lupa, my dear Tommy. Aku masih istrimu. Aku masih sayang kamu, “ Cindy menyahut mesra.
Hatiku berdebar. “ Hanya itu?” tanyaku gelisah.
“ Tidak. Aku salut. Kamu begitu mencintai Islam, begitu mencintai masjid. Kendati kerap diintimidasi dan dihina. Dalam lima tahun perkawinan kita, kamu tak sekalipun meninggalkan shalat. Aku-lah yang jarang shalat. \lquote
“ Honestly, kami di sini sudah lama tak peduli dengan agama. Buat kami agama adalah ilusi. Agama tak lebih dari urusan pribadi. Di negara ini ada dua pertanyaan yang tabu, kamu juga tahu, agama dan status pernikahan. Karena itu, jika ada orang yang patuh dengan ajaran agamanya kami sangat penasaran. Apa yang membuat dia komit dengan Tuhan-nya?” Kata-kata itu diucapkannya perlahan.
“ Honey, engkau telah membuat mataku terbuka. Mungkin, memang sudah saatnya aku mengikuti langkahmu.”
Aku terharu. Matahari senja 1 Syawal 1423 H bersinar semakin temaram.
Chicago, 13 November 2002
Buat kawan-kawan di Sydney dan Brisbane, salam hangat dan tetap semangat, taqabalallahu minna wa minkum !



Fragmen Si Aji
Hidup buatku pedih. Hidup dengan begitu banyak anggota keluarga tapi rasanya sebatang kara. Tak ada yang bisa diajak tertawa, apalagi menangis. Semua keruh dengan belitan masalah yang mencekik leher; setiap orang melakonkan perannya dengan buruk. Bayangkan, anak-anak yang harus dibiayai, istri yang terus merongrong agar bakul nasi terus terisi, suami pemabuk, ayah yang pemalas, ibu yang nrimo hingga tak mampu berusaha dan seabreg masalah yang terhampar di hadapanku. Aku bisa apa? Hanya menghela nafas sambil berharap.
Ah, hidup! Kapan aku bisa menikmati hidup ? Umur di penghujung tigapuluh, pekerjaan tak tetap, istri belum punya. Aku sering nyengir sendiri kalau melihat bayangan diriku di cermin. Perempuan mana yang mau denganku, pria kurus, bermata cekung dan kantong tipis? Aku jadi sering berkhayal, mungkin nanti aku akan bertemu dengan bidadari. Ya mungkin nanti, kalau masuk surga. He, he, he.
Mimpi bertemu bidadari di surga? Lebih baik aku shalat subuh dulu. Aku bangkit dari tempat tidurku, hasil menjadi kuli tinta di harian Gempita selama enam bulan. Aku merenggangkan tangan sambil menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya lagi. Badanku terasa remuk setelah semalaman begadang mencari inspirasi tulisan.
Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Tetapi aku terpaksa antri. Si bontot lagi keramas. Sambil duduk di bangku meja makan, aku menguap kemudian ngucek-ngucek mata.
''Ambil wudhu di luar aja Ji!'' suruh emak yang sedang merebus air.
''Ya. Aji mah, kopinya yang rada paitan dikit, Mak!'' kataku sambil ngeloyor ke pintu belakang.
Brrr . Dingin betul udara di luar. Kuedarkan mata. Ada bayangan hitam pohon pisang di sudut halaman. Kata si Bontot, di sana sering ada kuntilanak. Ah peduli nyamuk. Aku sih lebih takut sama nyamuk Aedes agepty yang menyebabkan si Komar meninggal karena demam berdarah daripada sama kuntilanak.
Aku merangkaikan harap di penghujung shalat. Yang kuingin hanya keridhoan-Nya. Kehidupan yang baik untuk dunia dan akheratku. Semoga juga, Dia yang Maha Peduli, menjaga dienku agar aku tidak gelap mata menghalalkan segala cara untuk menyumpal perutku. Biar perutku membusuk kalau ada satu saja makanan haram yang masuk ke dalamnya.
Kepalaku masih sedikit pusing. Kalau tak ingat janji dengan Furqon temanku, mungkin aku akan kembali tidur. Aku seruput kopi pahitku yang disediakan Emak di atas meja. Si Bontot sedang berdandan di depan kaca di ruang tengah. Sambil bersenandung kecil, dia melebarkan sehelai kain putih ke atas kepalanya. Dengan seragam putih abu-abunya ditambah semangatnya untuk bersekolah, Putri mampu memberiku seberkas cahaya untuk terus berusaha. Dia permata hatiku.
''Lagi seneng nih,'' aku menyentuh bahunya dengan ujung jariku.
''Iya, dong! Hari ini kan pengumuman lulus ujian, Bang, '' katanya bergeming dari depan cermin.
Waduh, aku lupa! Putri sudah lulus SMU. Sebentar lagi kuliah.Wah, aku mesti cepat-cepat mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan, nih!
''Bang, hari ini Putri mau sekalian daftar SPMB. Duitnya mana?''
'' SPMB? Apaan tuh?'' tanyaku bingung.
''Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru! Lupa lagi. Ah abang gimana?'' Putri mulai cemberut.
''Iya, ya. Berapa sih?'' aku tidak tega melihat wajahnya.
''Tujuh puluh ribu,'' jawabnya santai.
Tujuh puluh ribu? Mahal betul, pikirku. Padahal, seingatku dulu harganya cuma lima belas ribu rupiah. Aku kembali masuk kamar dan mengambil beberapa lembar uang puluhan ribu dari dompetku.
''Nih,'' kuserahkan uang itu ke tangan putri.
Putri menghitungnya hati-hati. Tiba-tiba mulutnya cemberut.
''Kok pas, Bang?!'' rajuknya.
''lho memang segitu kan,'' Aku jadi bingung.
''Yah, Abang payah. Tambahin sepuluh ribu atau dua puluh ribu, kek. Ini nih, buat nambahin bayar perpisahan,'' katanya.
Demi adik kesayangan, akhirnya kurogoh kantong celanaku lebih dalam.
''Nih, dua puluh ribu. Cukup?''
''Ma Acih, abang sayang,'' Putri menyambar uang dua puluhan dari tanganku kemudian berlari ke kamarnya.
Mataku berbinar sesaat untuk kemudian redup. Ku sambar handuk di gantungan baju belakang pintu kamarku. Kemudian melangkah dengan gontai ke kamar mandi.
***
''Ji, beras paling tinggal tiga hari lagi,'' ujar ibu ketika aku mulai menyuap nasi goreng.
''Ya, mak. Doain aja Aji dapat duit.'' Sahutku.
''Emak sih ngedoain terus. Biar luh cepet dapat kerja yang beneran dan dapat jodoh yang baik,'' kata Emak serius.
Kunyahanku tertahan karena tersedak. Aku tidak berani menatap emak. Aku teruskan saja suapanku. Bagaimana mau kawin? Cari uang buat kehidupan sekarang saja aku sudah setengah mati. Sejak bapak meninggal, aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Semula kupikir dengan titel sarjana, aku akan mudah mendapat pekerjaan. Ternyata sulit, apalagi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan visi hidupku.
''Insya Allah, kalau memang sudah waktunya kagak bakal kemana, Mak. Rizki, jodoh ama mati, Allah yang ngatur. Kita sih cuma bisa berusaha.'' Sahutku.
''Iya, kita sih berusaha aja terus ya, Ji. Eh iya, tadi Cicih kesini.'' Kata Emak tiba-tiba.
''Ngapain tuh anak ke sini,'' tanyaku. Tidak biasanya adik nomer duaku itu pagi-pagi bertandang ke rumah.
''Mau pinjam duit buat bayaran anaknya. Si Abas lagi tekor dagangannya. Dua minggu lagi bakalan dibayar kok, Ji,'' sahut Emak.
Aku merogoh saku celana sekali lagi. Ku ambil beberapa lembar uang puluhan dari dompet dan kuletakkan di atas meja.
''Beras masih bisa ngutang kan, Mak,'' kataku akhirnya.
Emak mengangguk. Aku menyeruput teh manis hingga tandas. Kucium tangan emak kemudian pamit.
Hari ini seribu harap ada dalam benakku. Furqon mengajakku bergabung dengannya merilis tabloid baru. Satu kesempatan, semoga saja sesuai dengan harapanku.
Stasiun kereta api tampak ramai. Beratus-ratus orang sudah berdiri di pinggir peron. Aku yang paling enggan berdesakkan dan berebutan tempat duduk hanya bisa tersenyum kecut. Bagaimana lagi? Janji dengan Furqon jam delapan di Cikini. Terpaksalah jam tujuh sudah harus naik kereta. KRL sudah mulai memasuki jalurnya. Begitu berhenti, brurr semua berebut masuk. Dalam hitungan satu menit, penumpang sudah berjejalan di dalamnya. Beginilah angkutan murah meriah, Bekasi-Jakarta cuma seribu.
Aku menunggu hingga kereta beranjak pergi. Begitu ada pemberitahuan dari ruang informasi kereta akan berangkat, aku langsung bergelantungan di pintu kereta bersama beberapa penumpang lain. Hingar bingar terdengar dari dalam kereta. Suara celoteh perempuan yang terkadang ditimpali sesama dan lawan jenis mulai terdengar. Begitu celotehnya tersambut, tawa pun pecah menggema.
Ketika jalan menikung, aku terdesak dari dalam oleh para penumpang lain. Sekuat tenaga aku bertahan pada pinggiran pintu. Suara teriakan-teriakan genit terdengar lagi. Tiba-tiba, BRUK. Seseorang terjatuh dari kereta, padahal kereta sedang melaju kencang. Dia terguling kemudian diam tak berkutik. Nafasku seolah berhenti. Pandanganku nanar, jantungku seolah berhenti berdetak. Aku alihkan pandanganku ke samping. Anak muda yang berdiri di pintu bersamaku sudah tak ada. Masya Allah, Innalillahi wa inna ilahi roji”un.
Di stasiun berikut aku beringsut masuk ke dalam kereta. Biarlah berdesak-desakan daripada mati konyol terjatuh dari kereta. Siksaan macam ini harus kulalui selama hampir dalam satu jam. Kepalaku masih memikirkan nasib anak muda itu. Dia masih sangat muda, hanya Allah yang tahu nasibnya sekarang. Di stasiun Jatinegara penumpang berkurang, aku sedikit lebih bisa bernafas. Begitu sampai stasiun Cikini, aku bergegas turun. Di depan wartel, Furqon sudah menunggu. Aku tersenyum padanya, dia pun tersenyum.
''Sudah makan?'' tanyanya.
Aku menerima tawaran Furqon. Perjuangan di atas kereta cukup menguras energi yang dihasilkan sarapanku tadi di rumah. Furqon mengajakku makan di sebuah kantin di bawah stasiun. Sambil makan kami bercerita tentang masa mahasiswa kami dulu. Diselingi tawa dan canda. Aku dan Furqon memang kawan lama. Begitu lulus dia dapat kerja jadi reporter di Surabaya. Sementara aku tetap di Jakarta mengurus bapak yang sedang sakit.
''Jadi gimana, Qon?'' tanyaku.
''begini, aku dapat tawaran dari orang-orang berduit untuk bikin satu situs.''
''Situs apaan?''
''Itu lho, yang laku di zaman sekarang.''
''Apaan sih?''
''Itu lho, situs bayi baru bisa merangkak.''
''Situs porno! Gila luh Qon, nawarin gituan sama gue. Luh sama aja nawarin tiang gantungan ke gue. Kamu kan tahu, waktu aku di Metropolis saja aku mengundurkan diri. Padahal aku mau dipromosiin jadi redpel. Satu alasanku, karena Metropolis sudah enggak obyektif lagi. Konkalingkong dengan beberapa pejabat tertentu. Itu namanya bukan jurnalis murni. Ini pakai nawarin yang kayak gituan. Binatang luh!''
''Eit, jangan marah dulu. Aku bencanda kok, Ji. Ternyata Aji yang sekarang enggak beda dengan yang dulu. Tetap idealis. Top deh.''
''Becanda. Keterlaluan kamu, Qon. Aku tuh sudah serius setengah mati,'' aku bernafas lega.
''Aku tidak bakal bikin hal-hal yang kayak gitu. Aku sekarang dapat amanah bikin satu media Islam. Yang jernih, full of vision dan tidak emosional. Dan aku pikir dengan kemampuan investigasimu yang cemerlang, media ini bisa lebih mencerahkan.''
''Media Islam? Aku?''
''Iya, kenapa enggak.''
''Aku khawatir tidak mampu.''
''Kita tidak sendiri, insya Allah akan ada beberapa orang yang mempunyai visi dan misi yang sama dan berasal dari berbagai disiplin ilmu.''
''Kalau kau yakin, aku akan berusaha berbuat sebaik mungkin. Aku tidak mau mengecewakanmu, tapi pengetahuanku akan Islam sedikit.''
''Kita akan belajar. Kamu tidak bosan belajar, kan. Paling tidak belajar meredam emosimu.''
''Insya Allah, dengan dzikir kan''
''Tapi salarynya tidak sebesar waktu kau di Metropolis.''
''Ya, tidak apa-apa. Yang penting berkah.''
''Amin. Ngomong-ngomong bagaimana kabarnya Putri?''
''Sudah lulus SMU. Mau kuliah dia.''
''Terus sudah ketemu belum sama bidadari tambatan hati? Kamu ini gimana, aku saja sudah punya tiga anak.''
Ah, kawin lagi. Saat ini aku sedang asyik menikmati kata nikmat. Selama ini aku salah mengintrepetasikan kata nikmat. Nikmat bukan hanya yang senang-senang saja. Nikmati lebih pada rasa. Rasa syukur karena masih ingat kalau diri ini hanya seorang hamba. Rasa tercukupi segala kebutuhan. Aku benar-benar merasa Allah Maha peduli. Ketika aku sudah di ujung pasrah, Allah memberikanku jalan keluar. Indah bukan. Anganku mengembara pada Putri, juga seorang bidadari di sampingku kelak. Aku tidak akan sendiri lagi ketika masalah membelit leherku.
Setengah jam kami nongkrong di kantin itu. Furqon pamit, kami berjanji ketemu dua hari lagi. Furqon juga memintaku untuk membuat beberapa konsep tabloid yang akan kami buat. Di depan kantin ada lapak penjual majalah dan koran. Aku mengambil beberapa majalah edisi terbaru. Begitu merogoh dompet ingin membayar, aku melongo.
''Kenapa, Ji.'' Furqon menatapku heran.
Aku tersenyum. Uangku di dompet tinggal seribu rupiah. Uangku sudah habis buat bayar SPMB dan perpisahan Putri juga untuk bayaran anak-anaknya Cicih.
''Ini pakai uangku saja dulu,'' Furqon menyorongkan uang seratus ribu ke arahku.
''Potong gaji pertama, ya Qon.'' Aku tersenyum kecut.
''Beres.'' Furqon tersenyum.

Untuk asa di hati.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "DIMANA AYAH"

Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top