Yudhi'm Blog

Blog yang berisi berbagai macam tulisan & tutorial umum. Enjoy the blog here!!!

Banner Iklan1

Banner Iklan1
Sudahkah keluarga Anda terlindungi?

Banner Iklan

Banner Iklan
970x90

Kode Etik tak Cukup Tangani Iklan di Televisi

Kota, Warta Kota
Keluhan masyarakat terhadap besarnya jumlah iklan pada tayangan di televisi yang mengganggu kenyamanan saat menonton, terutama di acara prime time, tidak pernah ditanggapi oleh pihak DPR dan para aparat yang terkait.
Hal tersebut diungkapkan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tini Hadad, ketika dihubungi Warta Kota melalui telepon, Jumat (21/12).
Pihak YLKI, menurutnya, sudah sering mengangkat persoalan ini ke meja diskusi. Tapi ini pun terhenti pada paparan wacana. Telah lama juga --semenjak Departemen Penerangan masih berdiri --YLKI mengusulkan ke DPR agar dibentuk undang-undang periklanan, termasuk untuk mengatur praktek-praktek iklan di media cetak dan elektronik. Tapi hasilnya sampai sekarang, imbuh Tini, nihil.
"Pihak stasiun televisi tahu benar bagaimana memanfaatkan prime time, dan prinsip mereka, kalau penonton nggak suka akan banyaknya iklan di tayangan tersebut, silakan take it or leave it," tuturnya.
Selama ini, pihak asosiasi periklanan hanya menerapkan kode etik untuk menetapkan batas tayangan iklan sebesar 30 persen. Dan menurut Tini, itu saja tidak cukup karena pada kenyataannya, ketetapan tersebut banyak dilanggar. "Dari hasil observasi YLKI, banyak yang tidak memakai patokan tersebut. Karena, tidak ada sanksi apa pun yang mengancam perbuatan mereka itu," tukasnya.
Menanggapi alasan dari pihak SCTV dan Indosiar, yang diutarakan oleh para manajer humas mereka, yakni Budi Dharmawan dan Gufron Sakaril, (Warta Kota, 20/12), Tini mengatakan alasan itu hanya dalih semata. "Bisa saja itu dalih mereka bahwa iklan yang memotong tayangan di tengah-tengah acara itu sekalian buat sensor atau untuk menahan remote control pemirsa agar tidak pindah ke saluran televisi lain.
Saya tahu benar, Lembaga Sensor Film (LSF) umumnya memotong adegan kekerasan atau porno. Lain dengan iklan yang memotong film di adegan apa saja. Dan dalih remote control dijadikan alasan, sehingga jumlah iklan justru sering lebih panjang dari acaranya," ujarnya.
Sementara itu Pengamat Media, Veven SP Wardhana, juga mengungkapkan soal semakin besarnya tindak pelanggaran terhadap patokan 30 persen untuk tayangan iklan. Menurutnya, hal itu bisa terjadi akibat tidak adanya lembaga yang melakukan penghitungan yang mutlak mengenai peraturan 30 persen tersebut.
"Maka, pihak televisi dengan gampang mencuri jam tayang iklan. Contoh pada acara pertama mereka mencuri tiga menit dan terus berlanjut pada tayangan berikutnya, juga mencuri waktu waktu tiga menit. Dan tanpa disadari penonton, akhirnya akumulasi jam tayang iklannya melampui batas," papar Veven.
Veven juga prihatin soal tayangan-tayangan kuis yang pertanyaan-pertanyaannya menjurus ke promosi produk, dan ini nyaris dilakukan semua stasiun televisi. "Ini sangat mengganggu konsumen dan para peserta kuis itu sendiri. Padahal etikanya, sponsor tidak boleh memasuki area tayangan," tegasnya.
Sayangnya, tidak ada undang-undang yang mengatur persoalan iklan tersebut, dan jika dikaitkan dengan etika moral, tidak ada hukuman yang membuat pelaku jera, katanya.
Menurutnya, harus ada sebuah lembaga yang terdiri dari masyarakat sipil, untuk terus-menerus melakukan tekanan --termasuk lewat surat pembaca di media cetak --terhadap pihak media dan periklanan. Ia mencontohkan apa yang dilakukan para ibu-ibu di Amerika Serikat yang membentuk lembaga pemantau iklan, dan hasilnya efektif, ditunjukkan dengan berkurangnya tayangan iklan yang mengeksploitasi anak. "Jika tidak ada yang berinisiatif, media pun bisa mengambil alih tugas ini," imbuhnya.
Bisa menuntut
Sementara itu pakar komunikasi JB Wahyudi menganggap pemotongan acara televisi tanpa mengindahkan kenyamanan pemirsa merupakan kesalahan penyelenggara.
"Mereka tidak mengindahkan hak konsumen penonton televisi. Masyarakat bisa menuntut melalui media watch, karena saya sendiri melihat persoalan ini merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan," jelasnya.
Sebab apa yang dilakukan stasiun televisi, lanjut mantan Kepala Monitoring TVRI Stasiun Pusat Jakarta ini, semata-mata pertimbangan profit. Namun demikian, hendaknya pengelola televisi tidak boleh mengorbankan kepentingan pemirsa. Di balik kepentingan bisnis itu sebenarnya juga ada hak pemirsa untuk mendapatkan tayangan yang nyaman.
"TV mau melanggar hak-hak pemirsa semata-mata karena kepentingan bisnis. Karena iklannya banyak, tidak peduli lagi kepentingan kenyamanan. Sehingga etika siaran pun dilanggar seenaknya," jelas Wahyudi.
Seiring dengan perkembangan dunia pertelevisian, dengan hadirnya 10 stasiun televisi swasta dan TVRI, Wahyudi menilai sudah saatnya dibentuk semacam Television Watch yang tugasnya memantau perkembangan pertelevisian. Badan pemantau itu bisa lebih independen mengawasi persoalan yang muncul di dunia pertelevisian. (yus/agi)
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Kode Etik tak Cukup Tangani Iklan di Televisi"

Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top