Yudhi'm Blog

Blog yang berisi berbagai macam tulisan & tutorial umum. Enjoy the blog here!!!

Banner Iklan1

Banner Iklan1
Sudahkah keluarga Anda terlindungi?

Banner Iklan

Banner Iklan
970x90

Film di Tangan Penguasa

Penguasa otoriter memanfaatkan film sebagai alat propaganda untuk kepentingan politik. Kaum kapitalis memanfaatkannya untuk menguasai pasar dan melanggengkan kapitalisme.
Sekitar enam tahun lalu, dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Noorca M. Massardi, serta sejumlah sastrawan dan peminat film lainnya, menangisi "kesalahan" almarhum Arifin C. Noer. Jajang C. Noer, istri tokoh teater kontemporer Indonesia itu, harus berlapang dada mendengar penilaian pahit yang tak bisa ditepis itu. Sesungguhnya, kata Goenawan, Arifin sangat enggan membuat film-film propaganda. Tapi, ironisnya, Arifin melahirkan Pengkhianatan G30S/PKI dan Serangan Fajar, film yang selalu diputar ulang setiap tahun oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan semua televisi swasta milik anak-anak Soeharto. Dua film pesanan Perusahaan Film Negara (PFN) itu menempatkan Soeharto--penguasa Orde Baru--sebagai hero tak tercela. "Saya kira itu kompromi yang sering kita buat dalam hidup yang tak pernah murni seperti angan-angan kita," kata Goenawan mencoba memaklumi posisi Arifin, juga semua seniman, di masa Soeharto. Tapi, kata Noorca waktu itu, Arifin masih berusaha "jujur". Dengan menghadirkan tokoh fiktif dalam Serangan Fajar, Temon, bocah dusun yang lugu, Arifin tampaknya ingin memberikan penilaian sendiri [bukan pesanan PFN] terhadap seorang tokoh. Namun, Temon yang--kalau tak salah--mempertanyakan tujuan "perjuangan" Soeharto muda, tak cukup untuk menghapus citra Serangan Fajar sebagai film puja-puji terhadap Soeharto. Sementara, Pengkhianatan G30S/PKI membuat Arifin harus malu kepada penonton yang menggerutu dan buru-buru mematikan televisi bila film itu diputar setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Dalam rangkain JiFFest, dua film itu akan diputar dan didiskusikan lagi pada 10 November mendatang di Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Tapi, bukan untuk memperingati hari Kesaktian Pancasila atau mengagungkan Soeharto. Melainkan, untuk dijadikan bahan diskusi tentang kegiatan propaganda lewat media film, sekaligus mengenang masa "pembodohan" masyarakat lewat film. Soeharto sudah jatuh. Kita tak lagi melihat Pengkhianatan di televisi atau film dokumenter berdurasi 10 menit tentang sukses pembangunan nasional yang diputar di semua bioskop 21 sebelum film utama dimulai. Sekarang, dengan leluasa, kita bisa mengutuknya sebagai makhluk buruk rupa yang membunuh proses kreatif dengan kejam atau sebagai presiden berengsek yang memencongkan sejarah secara paksa. Namun, tanpa bermaksud membela Soeharto, penguasa lain di muka bumi ini juga punya kesadaran yang sama tetang kekuatan film. Lebih dari media seni lainnya, film merupakan media paling ampuh untuk menanamkan sesuatu pada pikiran dan perasaan manusia. Serudukan pesawat terbang ke gedung kembar World Trade Center mendorong Pemerintah Amerika Serikat (AS) memakai bintang-bintang film top Hollywood untuk menyampaikan pesan-pesan antiterorisme via film. Bedanya dengan Soeharto, Gedung Putih tidak memaksakan kehendak, melainkan "meminta" pengertian orang-orang Hollywood agar memanfaatkan film untuk ikut memerangi manusia macam Osama bin Laden. Rabu, 17 Oktober lalu, pejabat Gedung Putih bersua dengan aktris Sally Field, Leslie Moonves (salah seorang pimpinan CBS Television), Peter Roth (Presiden Warner Bros Television), dan Bryce Zabel (Ketua Academy of Television Arts and Sciences) di suatu tempat. Begitu diberitakan Daily Variety edisi 18 Oktober 2001. Belum lama ini, pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) yang masih setia pada komunisme memfilmkan kesuksesan Mao Zedong dalam mengobarkan revolusi di Cina setengah abad silam. Mao and Snow, demikian judul film itu. Film yang disutradarai Song Jiangbo itu berkisah tentang persahabatan Mao dan seorang penulis perempuan asal Amerika, Lois Wheeler Snow, 79 tahun. Film tersebut didasarkan pada dua buku Snow, Red Star Over China dan A Death With Dignity, yang masing-masing menggambarkan revolusi dan perang saudara di "Negeri Tirai Bambu" itu. Namun, pertemuan antara film, kekuasaan, ideologi, dan propaganda adalah persoalan lawas. Aldous Huxley, dalam Propaganda in a Democratic Society, meninjau ke Jerman semasa Perang Dunia III dan Uni Soviet selagi masih ada. Bahwa film bukan hanya mengontrol perilaku publik, tapi juga perasaan dan opini mereka. Film yang merupakan media paling ampuh untuk mempengaruhi massa tentu tak dibiarkan bebas. Nazi Jerman mengawasi dengan ketat skenario, pemilihan pemain, musik, pembuatan film, dan distribusinya. Hitler memanfaatkan film untuk mencuci otak masyarakat. Nazi menyediakan 70 ribu proyektor 16 milimeter di berbagai sekolah dan universitas di negeri itu sejak 1936. Secara rutin anak-anak sekolah disuguhi film dokumenter atau cerita berbau propaganda tentang kehebatan Adolf Hitler, tentara-tentara Nazi yang gagah berani, bangsa Aria yang mulia, atau sukses pembangunan negeri itu. Di Uni Soviet, Stalin tahu benar bahwa film merupakan "seni yang paling kuat". Ia dan para pemimpin Soviet lainnya menanamkan pengertian kepada para artis dan sutradara film bahwa "gambar hidup di layar putih" adalah seni massa yang semestinya memberi sumbangan bagi Uni Soviet. Seperti di zaman Hitler, penguasa Soviet juga mengatur proses pembuatan dan peredaran film. Benito Mussolini, penguasa rezim fasis di Italia (1922-1943), meletakkan industri perfilman di bawah kontrol organisasi politik dan sensor penguasa. Atas perintah Mussolini, dibangunlah lembaga pendidikan perfilman dan dokumentasi untuk mencetak para pekerja film yang menyadari pentingnya hubungan film dan politik. AS dan sekutunya juga melakukan hal serupa. "Semasa Perang Dunia II (1941-1945), Presiden AS Franklin D. Roosevelt membuat film seri untuk menjustifikasi keterlibatan AS dalam perang serta membenarkan aliansinya dengan Uni Soviet," demikian Asvi Warman Adam, kolumnis dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam tulisannya di sebuah harian terkemuka. Lalu, apakah ketika tangan kekuasaan tak iseng, benturan ideologi berakhir, dan perang berhenti, film-film komersial yang kita tonton sekarang tak beraroma propaganda? Untuk menjawabnya, Deane Williams yang memberi pengantar pada tulisan Cinema and Capitalism di www.latrobe.edu.au mengambil contoh "tradisi" Hollywood. Menurut Williams, film-film Hollywood adalah "opium bagi masyarakat" yang proses pembuatan dan penyebarannya dikontrol oleh kaum kapitalis, serta demi kelanggengan kapitalisme. Syarat bahwa sebuah film "harus menarik minat sebanyak mungkin penonton" melahirkan film yang mudah dicerna, dan kisah-kisah petualangan hendaknya berlumur cerita asmara. Tak peduli apakah antara petualangan dan cinta itu cukup relevan. Akhir yang bahagia lebih diutamakan ketimbang akhir cerita nan sengsara. Kebaikan harus memperoleh imbalan, sementara keburukan mesti hancur. Gangster harus mati atau ditaklukkan oleh hukum dan ketertiban. Dan, sebuah film haruslah memperkuat gagasan tentang kesetaraan dalam memperoleh kesempatan. Tema-temanya mesti diselaraskan dengan ideologi borjuis. Dalam kaitannya dengan dunia lain di luar AS, pekerja film negeri itu dengan sadar membuat yang menyanjung kehebatan sistem sosial dan politik Amerika. Film-film tentang Perang Vietnam, menampakkan pola dan tahapan yang sejalan dengan tujuan itu. Untuk menghibur diri dari kepahitan dalam Perang Vietnam, mereka menciptakan tokoh hebat seperti Rambo sebagai sosok pahlawan. Padahal, tentara AS keok di sana. Kebebasan berekspresi yang sedang dinikmati para pekerja film Indonesia saat ini ternyata lebih banyak menciptakan sinetron-sinetron "opium masyarakat" yang digerakkan oleh sebuah jaringan kaum kapitalis. Mereka mengeksploitasi selera pasar. Pola happy ending, yang baik haruslah cantik, atau kejahatan harus dikalahkan oleh kebajikan, adalah pola baku sinetron Indonesia.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Film di Tangan Penguasa"

Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top