DENGAN rumah yang rapi, sebuah mobil Toyota keluaran terbaru di garasi dan dua anak usia sekolah, Akio Nakashima dan istrinya, Yoshie, adalah gambaran sempurna seorang imigran di Jepang. Namun 'ke-Jepangan-an' mereka tidak berbeda dengan penduduk Jepang asli.
Sekalipun asal mereka dari Vietnam, mereka sulit dibedakan bila telah berada dalam kerumunan. Mereka bisa menguasai bahasa Jepang yang sulit setelah dengan tekun belajar selama bertahun-tahun. Agar pembauran mereka lebih baik, mereka bahkan menggunakan nama Jepang. Meski untuk itu mereka harus menghadapi kemarahan orang tua mereka.
Namun, selain di tempat kerja, selama 21 tahun tinggal di Jepang--mereka tiba sebagai manusia perahu pada 1982--keluarga Nakashima tidak pernah berusaha berteman dengan orang-orang sekitarnya. Namun hal itu, bagi mereka, adalah hal kecil dibandingkan rasa khawatir yang mengganggu tidur mereka.
"Selama kehidupan saya berlanjut, tidak masalah apakah saya orang Vietnam atau Jepang," kata Akio Nakashima, seorang insinyur berusia 36 tahun yang bekerja di sebuah pabrik ban.
"Kekhawatiran terbesar saya adalah kecurigaan dan diskriminasi terhadap anak-anak saya. Kami juga membayar pajak sama seperti yang lain, tetapi bisakah anak-anak kami bekerja di perusahaan besar, atau menjadi pegawai negeri?
Penduduk berkurang separuh: ***Para ahli ekonomi dan demografi, di Jepang dan luar negeri, mengatakan berhasil tidaknya Jepang memperhatikan kekhawatiran imigran seperti Nakashima akan menentukan apakah negeri itu masih akan menjadi kekuatan ekonomi atau populasinya menurun dan tanda-tanda kemunduran ekonomi Jepang mulai terlihat.
Jepang adalah negara paling awal yang mengalami fenomena yang mulai menyerang banyak negara maju--yaitu penduduk yang cepat menua dan angka kelahiran yang menurun.
Angkatan kerja di Jepang mencapai jumlah tertinggi pada 1998. Namun sejak itu angka tersebut terus menurun. Para ahli memperkirakan penurunan itu akan semakin cepat.
Dan menurut perkiraan PBB, jumlah penduduk Jepang akan berkurang separuhnya dari sekitar 120 juta penduduk saat ini.
Terjunnya wanita ke kantor-kantor, yang semakin banyak terjadi, memberi berarti pada penurunan jumlah penduduk itu dalam jangka pendek. Namun para ahli mengatakan satu-satunya harapan untuk menstabilkan populasi penduduk Jepang adalah imigrasi besar-besaran, dan harus terjadi selama bertahun-tahun.
Kegagalan menerapkan sistem ini, bukan saja akan berakibat buruk pada kelangkaan tenaga kerja atau menurunnnya kebutuhan, tetapi juga akan menghancurkan sistem pensiun. Karena pemberi pajak akan menyusut dan penduduk manula melonjak.
Butuh 17 juta pada 2050: ***Menteri Keuangan Jepang, dalam pidatonya di depan parlemen awal tahun ini, telah memperingatkan tentang hal tersebut. Namun dia kemudian meralat komentarnya, meski dengan tidak yakin, karena kekhawatiran yang berlebihan.
Untuk memulihkan keseimbangan demografinya, Jepang membutuhkan sekitar 17 juta imigran baru pada 2050. Demikian laporang yang dikeluarkan PBB baru-baru ini.
Namun, Jepang adalah negeri paling picik di antara negara-negara industri maju lainnya. Mereka juga sangat konservatif dengan kemurnian etnis. Karena itu sangat sulit bagi rakyat Jepang, bahkan bagi para pakar Jepang sendiri, untuk mempertimbangkan imigrasi besar-besaran. Angka 17 juta imigran itu bila terjadi baru mewakili 18 persen dari penduduk Jepang. Saat ini jumlah imigran di negeri itu baru 1 persen.
Bahkan imigran yang 1 persen itu perlu diberi tanda kutip, karena mereka kebanyakan adalah orang-orang China dan Korea generasi kedua dan ketiga. Mereka datang ke Jepang pada saat Jepang menguasai sebagian besar Asia. Dan Nakashima, yang berasal dari Vietnam, sangat paham, bahkan imigran-imigran yang telah beranak pinak itu sering menghadapi diskriminasi. Mereka dianggap bukan sebagai Jepang "sejati."
"Pernyataan-pernyataan para ahli demografi tersebut adalah tidak dibayangkan oleh orang-orang Jepang," kata Hiroshi Komai, seorang pakar kependudukan dari Universitas Tsukuba. "Selama seperempat abad kami hanya menerima satu juga imigran."
"Masyarakat selalu meningkat dan menurun," tambahnya, "dan Jepang kemungkinan akan hilang dan sesuatu yang lain akan muncul menggantikannya. Tapi itu bukan masalah. Yunani dan Roma juga menghilang."
Komai yakin Jepang tidak bisa menyerap pendatang baru bukan karena pengagungan kemurnian keturunan seperti yang umum terjadi di kalangan pemimpin politik konservatif. Contohnya adalah Gubernur Tokyo, Shintaro Ishihara, yang pernah memperingatkan "polusi genetik" dari China. Tetapi hal itu terjadi karena penghargaan realistis terhadap keterbatasan sosial masyarakat Jepang, termasuk sistem pendidikan dan budaya tempat kerjanya.
Karena itulah, kata Komai, Jepang hanya bisa menerima 200.000 pendatang baru pada dekade mendatang, jauh dari kebutuhan yang diperkirakan para pakar.
Ekonomi memburuk, pria bunuh diri:
Inilah Jepang. Jumlah angka pria Jepang yang melakukan bunuh diri tahun lalu meningkat untuk pertama kali dalam empat tahun terakhir, dan faktor pendorong kecenderungan ini memburuknya perekonomian, menurut data statistik polisi belum lama ini.
Lebih dari dua pertiga orang yang memutuskan untuk mengambil nyawanya sendiri ialah kaum pria, dan hampir satu dari tiga diantaranya pria berusia 60 tahun.
Jumlah pria Jepang yang bunuh diri pada 2002 tercatat 32.143 orang, meningkat 3,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka di atas 30.000 orang itu juga tetap bertahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir berturut-turut.
Bunuh diri yang berasal dari persoalan ekonomi, antara lain masalah utang, kemunduran bisnis, masalah kehidupan dan pengangguran -- tercatat mencapai 7.940 tahun lalu, meningkat 1.940 dibanding setahun sebelumnya.
Angka tersebut merupakan yang tingkat yang tertinggi untuk pertama kali sejak polisi melakukan pencatatan kasus-kasus demikian sejak 1978, menurut Badan Kepolisian Jepang, berdasarkan catatan yang ditinggalkan para pelaku bunuh diri.
Meski demikian, kebanyakan kasus bunuh diri --14.815, terdorong oleh masalah kesehatan.
Sejumlah total 11.119 orang berusia 60 tahun atau lebih tua melakukan bunuh diri. Mereka yang berusia 50 tahunan di tempat kedua berjumlah 8.462 kasus, dan 4.813 kasus lainnya menyangkut pria berusia 40 tahunan.
Kasus bunuh diri yang berusia belasan dan 20 tahunan menurun jumlahnya.
Angka-angka tersebut dikatakan mencerminkan peningkatan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan karena perusahaan-perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja, selain semakin banyak orang terlibat utang.
Orang-orang Jepang yang berusia 50 tahunannya juga merasakan kesepian, selain pula merosotnya penghasilan membuat otoritas seorang tokoh ayah menjadi berkurang. (miol) PIKAS
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
1 Komentar untuk "Jepang akan Menghadapi Kekurangan Penduduk 17 Juta"
emank pada kemana gitu penduduk jepangnya?
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).